Showing posts with label KERAJAAN TANAH BORNEO. Show all posts
Showing posts with label KERAJAAN TANAH BORNEO. Show all posts

SEJARAH KERAJAAN LANDAK

Sejarah

Kerajaan Ismahayana Landak adalah sebuah kerajaan yang saat ini berlokasi di Kabupaten LandakKalimantan Barat. Keraton Ismahayana Landak memiliki kronik sejarah yang relatif panjang, meskipun sumber-sumber tertulis yang membuktikan sejarah kerajaan ini bisa dikatakan sangat terbatas. Sama halnya dengan sumber dari cerita-cerita rakyat yang muncul di Ngabang, Kalimantan Barat, tempat di mana kerajaan ini berada. Kendati demikian, bukti-bukti arkeologis berupa bangunan istana kerajaan (keraton) hingga atribut-atribut kerajaan yang masih dapat kita saksikan hingga kini dan juga buku Indoek Lontar Keradjaan Landak yang ditulis oleh Gusti Soeloeng Lelanang (raja ke-19) pada tahun 1942, sesungguhnya cukup memadai untuk membuktikan perjalanan panjang kerajaan ini yang secara garis besar terbagi ke dalam dua fase, yakni fase Hindu dan fase Islam, ini telah dimulai sejak tahun 1275 M.


SEJARAH KERAJAAN/KESULTANAN SANGGAU.

Sejarah

Kerajaan Sanggau adalah sebuah kerajaan melayu yang berdiri sejak abad ke-4 M yang terletak di kabupaten sanggauKalimantan baratIndonesia. Penyebutan “Sanggau" sendiri berasal dari nama tanaman yang tumbuh di tepi sungai daerah tempat berdirinya kerajaan itu, yakni Sungai Sekayam. Sungai Sekayam merupakan tempat merapatnya rombongan yang dipimpin Dara Nante, seorang perempuan ningrat dari Kerajaan Sukadana, Ketapang, saat mencari suaminya yang bernama Babai Cinga. Namun ada juga pendapat yang meyakini bahwa nama “Sanggau" diambil dari nama Suku Dayak Sanggau, sebuah klan Suku Dayak yang menjadi suku asal Baba Cinga.


KERAJAAN PURBA NAN SARUNAI

Sejarah

Suku Banjar adalah salah satu suku bangsa terbesar yang mendiami wilayah Kalimantan Selatan. Namun, identitas warga asli Kalimantan Selatan masih menjadi perdebatan, sebab wilayah ini di tempati oleh bermacam-macam orang dari berbagai suku bangsa. Identitas Urang Banjar (orang Banjar) yang asli Melayu ataukah Urang Dayak (orang Dayak) menjadi tema perdebatan masyarakat mengenai asal usul masyarakat Banjar (Yusuf Hidayat, dalam Jurnal Sosiologi Universitas Airlangga, 2006). Istilah Urang Banjar dimaksudkan untuk menyebut mayoritas penduduk yang mendiami sebagian besar daerah di Provinsi Kalimantan Selatan, meskipun tidak semua warga Kalimantan Selatan beretnis Banjar asli. Dalam buku Urang Banjar dalam Sejarah, mencoba memberikan jalan tengah atas ketidak sepahaman yang terjadi antara orang Melayu dan orang Dayak tersebut. Masyarakat yang disebut sebagai Urang Banjar setidaknya terdiri dari etnis Melayu sebagai etnis yang dominan dan ditambah unsur orang-orang Suku Dayak, termasuk Suku Dayak Maanyan .

SEJARAH KERAJAAN TAYAN

Terdapat berbagai versi penamaan Tayan, antara lain:
  1. Asal kata TA artinya TANAH dan YAN artinya TAJAM (TANAH TAJAM). Apakah ini dimaksudkan dengan kondisi tanah ujung Tanjung, disitu tempat mulai dibuka atau didirikan kota Tayan.
  2. Asal kata TAI artinya BESAR dan AN artinya KOTA (KOTA BESAR). Sebuah tempayan yang ditenggelamkan di muara Sungai Tayan sebagai tanda mulai berdirinya Kota Tayan.

Sejarah

Kerajaan Tayan adalah sebuah kerajaan yang berpusat di Kecamatan Tayan HilirKabupaten SanggauProvinsi Kalimantan BaratIndonesia. Pendiri kerajaan Tayan adalah putra Brawijaya dari Kerajaan Majapahit yang bernama Gusti Likar/Lekar. Bersama dengan saudara-saudaranya, Gusti Likar meninggalkan kerajaan Tanjungpura yang sering terlibat peperangan. Pemerintahan kerajaan Tayan kemudian dipegang oleh Gusti Ramal bergelar Pangeran Marta Jaya Yuda Kesuma, putra Pangeran Mancar pendiri kerajaan Meliau yang adalah kemenakan Gusti Likar. Mula-mula ibukota kerajaan berlokasi di Teluk Kemilun.

Asal Muasal

Kerajaan Tayan di dirikan oleh Gusti Lekar, anak kedua dari Panembahan Dikiri (Raja Matan). sedangkan anaknya yang pertama bernama Duli Maulana Sultan Muhammad Syarifuidin, menggantikan ayahnya menjadi Raja Matan. Sultan Muhammad Syarifudin adalah Raja pertama yang memeluk agama islam oleh tuan Syech Syamsuddin dan mendapat hadiah dari raja mekah sebuah Qur’an kecil dan sebentuk cincin bermata jamrut merah. Kedatangan Gusti Lekar di Tayan semulanya untuk mengamankan upeti dari rakyat daerah itu kepada kerajaan matan, sebelumnya pembawa upeti tersebut selalu mendapat gangguan oleh seseorang yang mengatakan dirinya raja di kuala lebai. untuk semuanya itu Gusti Lekar bersama seorang suku dayak bernama Kia Jaga dari Tebang berhasil mengamankan upeti tersebut sampai ke kerajaan Matan.
Gusti Lekar wafat di makamkan di sebuah bukit dekat Kota Meliau, karena tempat atau bukit tersebut masih termasuk wilayah Kerajaan Tayan. Dengan wafatnya Gusti Lekar ini, maka sebagai penggantinya menjadi raja di Tayan diangkatlah Gusti Gagok dengan gelar Pangeran Manca Ningrat, beristrikan Utin Halijah dan memperoleh seorang anak yang diberi nama Gusti Ramal. sedangkan saudaranya yang lain, yaitu Gusti Manggar menjadi Raja di Meliau, Gusti Togok menjadi Raja di Sanggau dan Utin Peruan kawin dengan abang sebatang hari seorang pangeran di Embau Hulu Kapuas.

Pemindahan Ibu Kota

Sejak itu ibu kota Kerajaan Tayan dipindahkan ke suatu tempat bernama Rayang. Ditempat ini masih terdapat peninggalan berupa Makam Raja-raja dan sebuah meriam, yang konon atau menurut cerita meriam ini tidak mau dipindahkan ketempat lain dan pada saat-saat tertentu posisinya dapat berubah sendiri. Dengan berakhirnya masa Kerajaan Tayan ini, status keraton dijadikan monumen peninggalan sejarah yang dilindungi (Monumen Ordonansi No. 238 tahun 1931) dan mendapat bantuan biaya pemeliharaan dari Pemerintahan Daerah TK I Kalimantan Barat. Peninggalan sejarah lainnya yaitu sebuah Masjid Jami' yang letaknya kurang lebih 100 meter kearah Barat Keraton dan Makam Raja-raja serta puluhan meriam peninggalan VOC.
Kerajaan Tayan pertama kali ditempatkan di daerah Tayan, setelah Gusti Lekar wafat dimakamkan disebuah bukit yang tidak jauh keberadaannya dari Kota MeliauKecamatan MeliauKabupaten SanggauGusti Lekar wafat dan digantikan oleh putranya yang bernama Gusti Gagok yang bergelar Manca Diningrat. Kemudian Gusti Gagok memindahkan Ibukota Kerajaan Tayan ke suatu tempat bernama Rayang. Hingga saat ini kawasan Rayang masih didapati peninggalan Kerajaan Tayan berupa makam Raja-Raja beserta kerabat kerajaan di mana dikawasan tersebut ditandai keberadaan sebuah meriam. Setelah Pangeran Mancadiningrat (Gusti Gagok) wafat, Raja Tayan diganti oleh anak pertamanya bernama Gusti Ramal yang bergelar Pangeran Marta Jaya Kusuma.

Peperangan

Sejak pemerintahan Gusti Kamaruddin yang bergelar Pangeran Suma Yuda yang menggantikan ayahnya Gusti Ramal menjadi Raja tayan. Dalam masa pemerinthannya itu, terjadi peperangan antara Kerajaan Tayan dengan Kerajaan PontianakKerajaan Sanggau dan orang-orang China dari wilayah Mentrado Bengkayang. Setelah wafatnya Pangeran Suma Yuda (Panembahan Tua), diangkatlah anaknya yang bernama Gusti Mekkah yang kemudian bergelar Panembahan Natakusuma (Panembahan Muda). Pada masa pemerintahan Natakusuma inilah tercatat bahwa dia yang mula-mula mengikat perjanjian dengan Nederland Indie Gouverment pada bulan November tahun 1822.
Panembahan Natakusuma mangkat pada tahun 1825 dengan tidak meninggalkan seorang putra. Maka yang menggantikan menjadi Raja Tayan adalah saudaranya Panembahan Tua yaitu Utin Belondo yang bergelar Ratu Utin Belondo (Ratu Tua) sedangkan yang menjalankan pemerintahan kerajaan adalah suaminya Gusti Hasan Pangeran Ratu kusuma dengan gelar Panembahan Mangku Negara Surya Kusuma. Pada tahun 1855 Panembahan Mangku Negara Surya Kusuma wafat dan digantikan oleh anaknya yang bernama Gusti Inding yang bergelar sama dengan ayahnya.

Perjanjian Dengan Belanda

Dalam tahun 1858 oleh pemerintahan Belanda (Gouverment Hindia Belanda) gelar dia diganti menjadi Panembahan Anom Pakunegara Surya Kusuma. Pada masa itu terjadi peperangan antara kerajaan Tayan dengan Kerajaan Landak (Ngabang). Oleh karena dia sudah sangat tua, maka roda pemerintahannya diserahkan kepada adiknya yang bernama Gusti Karma. Dia meninggal dunia pada tanggal 23 November 1873 (1290 H) di Batang Tarang. Gusti Karma kemudian diangkat menjadi Raja Tayan dan diberi gelar Panembahan Adi Ningrat Kusuma Negara dan dia memerintah hingga tahun 1880 yang kemudian digantikan anaknya bernama Gusti Muhammad Ali disebut pula dengan nama Gusti Indung bergelar Panembahan Pakunegara Kusuma dinobatkan menjadi Raja tayan di Rayang. Dia beristrikan Utin fatimah dan memperoleh 12 anak.
Dalam masa pemerintahan dia, mengikat kontrak baru dengan pemerintahan belanda yaitu Akta Van Verband en Bekrachting di Rayang, 2 April 1880Goedgekeurd 23 April 1883 Nomor 12. Dalam masa pemerintahannya Ibukota tempat kedudukan Raja dipindahkan dari Istana Rayang ke Tayan (berawal di kawasan Teluk Kemilun dan kemudian berpindah ke Desa Pedalaman hingga saat ini) dan sekaligus membangun istana/keraton baru yang dibangun oleh rakyat Tayan untuk Raja Tayan. Keraton ini hingga pada saat ini masih berdiri dan ditempati oleh para ahli warisnya. Pada tanggal 26 Februari 1890 oleh Gouverment Hindia NederlandKerajaan Meliau dimasukkan kedalam wilayah/daerah Kerajaan Tayan. Panembahan Gusti Muhammad Ali memegang jabatan selama 15 tahun (1890 s/d 1905), dia wafat dan dimakamkan dikompleks Makam Raja-Raja Tayan di desa kawat.

Kelanjutan Kerajaan Tayan

Zaman pemerintahan Gusti Ismail tetap menjadi Raja Tayan sampai pada masa pemerintahan Swapraja diserahkan pada tahun 1960. Tetapi dia masih bekerja terus sebagai Wedana Tayan. Dalam kedudukan sebagai Wedana Tayan, Gusti Ismail dipindahkan dan diperbantukan dikantor Bupati Kepala daerah Kabupaten Sanggau. Sekarang bekas ibukota Kerajaan Tayan menjadi Ibukota Kecamatan Tayan HilirKabupaten Sanggau. Raja-raja tersebut dimakamkan di kompleks makam Raja-Raja Tayan, serta makam Utin Belondo atau Ratu Utin Belondo di desa Kawat.


Daftar Raja Tayan


* 1780-1809: Suma Juda
* 1809-1825; regen: 1809-1822: Natu Kusuma
* 1823-1945: Protektorat belanda
* 1825-1828: Ratu Kusuma Surjanegara
* 1828-1854: Marta Surjakusuma (panembahan)
* 1854-1873: Anom Pakunegara Surjakusuma
* 1873-1880: Ratu Kusumanegara
* 1880-1905: Pakunegara Surjakusuma
* 1905-1929: Anom Pakunegara
* 1929-1944: Anom Adinegara (Gusti Dżapar)
* 1945-1960: Pakunegara (Gusti Ismail)
* 2012: Pada 26 Mei 2012 penobatan Raja XIV setelah vakum sejak tahun 1967 saat Raja XIII mangkat. Kevakuman Kerajaan Tayan akibat dari kekejaman Jepang

KERAJAAN NEGARA DAHA

Pusat Kerajaan Negara Daha terletak di tepi sungai Negara dan berjarak 165 km di sebelah utara Kota Banjarmasin, ibukota provinsi Kalimantan Selatan.


Sejarah

Kerajaan Negara Daha adalah sebuah kerajaan Hindu (Syiwa-Buddha) yang pernah berdiri di Kalimantan Selatansezaman dengan kerajaan Islam Giri Kedaton. Kerajaan Negara Daha merupakan pendahulu Kesultanan Banjar. Pusat pemerintahan/ibukota kerajaan ini berada di Muhara Hulak atau dikenal sebagai kota Negara (sekarang kecamatan Daha Selatan, Hulu Sungai Selatan), sedangkan bandar perdagangan dipindahkan dari pelabuhan lama Kerajaan Negara Dipa yaitu Muara Rampiau (sekarang desa Marampiau) ke pelabuhan baru pada Bandar Muara Bahan (sekarang kota Marabahan, Barito Kuala).

Kerajaan Negara Daha merupakan kelanjutan dari Kerajaan Negara Dipa yang saat itu berkedudukan di Kuripan/Candi Agung, (sekarang kota Amuntai). Pemindahan ibukota dari Kuripan adalah untuk menghindari bala bencana karena kota itu dianggap sudah kehilangan tuahnya. Pusat pemerintahan dipindah ke arah hilir sungai Negara (sungai Bahan) menyebabkan nama kerajaan juga berubah sehingga disebut dengan nama yang baru sesuai letak ibukotanya yang ketiga ketika dipindahkan yaitu Kerajaan Negara Daha.

Pemimpin/Raja

Raja-raja Negara Daha:
  1. Raden Sakar Sungsang/Raden Sari Kaburungan/Ki Mas Lalana bergelar Maharaja Sari Kaburungan atau Panji Agung Rama Nata putera dari Putri Kalungsu/Putri Kabu Waringin, ratu terakhir Negara Dipa
  2. Raden Sukarama bergelar Maharaja Sukarama, kakek dari Sultan Suriansyah (Sultan Banjar I)
  3. Raden Paksa bergelar Pangeran Mangkubumi, kemudian bergelar Maharaja Mangkubumi
  4. Raden Panjang bergelar Pangeran Tumenggung

Wilayah Kekuasaan

Wilayah pengaruh kerajaan ini meliputi provinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah, sebelah barat berbatasan dengan Kerajaan Tanjungpura, sedangkan sebelah timur berbatasan dengan Kerajaan Kutai Kartanegara.

Agama

Islam datang ke daerah Kalimantan Selatan dari Giri pada masa Raden Sekar Sungsang yang pernah merantau ke pulau Jawa dan disana telah memiliki anak bernama Raden Panji Sekar yang menikahi putri dari Sunan Giri kemudian bergelar Sunan Serabut. Tetapi Islam baru menjadi agama negara pada tahun 1526 pada masa kekuasaan Sultan Suryanullah atau Sultan Suriansyah. Aksara Arab-Melayu telah digunakan sebelum berdirinya Kesultanan Banjar.

Akhir

Karena kemelut di Kuripan/Negara Daha, beberapa tumenggung melarikan diri ke negeri Paser di perbatasan Kerajaan Kutai Kartanegara dan kemudian mendirikan Kerajaan Sadurangas di daerah tersebut.
SEJARAH KERAJAAN NEGARA DIPA

SEJARAH KERAJAAN NEGARA DIPA

Kerajaan Negara Dipa adalah kerajaan yang berada di pedalaman Kalimantan Selatan. Kerajaan ini adalah pendahulu Kerajaan Negara Daha. Sejak masa pemerintahan Lambung Mangkurat wilayahnya terbentang dari Tanjung Silat sampai Tanjung Puting.


Artefak yang ditemukan di situs Candi Laras 
Kerajaan Negara Dipa memiliki daerah-daerah bawahan yang disebut Sakai, yang masing-masing dipimpin oleh seorang Mantri Sakai. Sebuah pemerintahan Sakai kira-kira sama dengan pemerintahan lalawangan (distrik) pada masa Kesultanan Banjar. Pada mulanya negara Dipa merupakan bawahan kerajaan Kuripan yang merupakan kerajaan pribumi. Menurut Hikayat Banjar, Negara Dipa merupakan sebuah negeri yang didirikan Ampu Jatmika yang berasal dari Keling (Coromandel) yang berjarak dua bulan perjalanan laut menuju pulau Hujung Tanah (Kalimantan). Menurut Veerbek (1889:10) Keling, provinsi Majapahit di barat daya Kediri. Menurut Paul Michel Munos dalam Kerajaan-kerajaan Awal Kepulauan Indonesia dan Senanjung Malaysia, hal 401 dan 435, Empu Jamatka (atau Empu Jatmika) mendirikan pada tahun 1387, dia berasal dari Majapahit. Diduga Ampu Jatmika menjabat sebagai Sakai di Negara Dipa (situs Candi Laras)(Margasari). Ampu Jatmika bukanlah keturunan bangsawan dan juga bukan keturunan raja-raja Kuripan, tetapi kemudian dia berhasil menggantikan kedudukan raja Kuripan sebagai penguasa Kerajaan Kuripan yang wilayahnya lebih luas tersebut, tetapi walau demikian Ampu Jatmika tidak menyebut dirinya sebagai raja, tetapi hanya sebagai Penjabat Raja (pemangku).

KURIPAN/KAHURIPAN DARI KALIMANTAN SELATAN

INI KAHURIPAN DI KALIMANTAN SELATAN KALAU MAU BACA KAHURIPAN YANG DI JAWA TIMUR DI SINI

Kerajaan Kuripan, atau disebut pula Kahuripan, adalah kerajaan kuno yang beribukota di kecamatan Danau PanggangHulu Sungai UtaraKalimantan Selatan. Kerajaan Kuripan berlokasi di sebelah hilir dari negeri Candi Agung (Amuntai Tengah).

Letak Kerajaan

Diduga pusat pemerintahan kerajaan ini berpindah-pindah di sekitar Kabupaten Hulu Sungai Utara dan Kabupaten Tabalong saat ini. Kabupaten Tabalong terletak di sebelah hulu dari Kabupaten Hulu Sungai Utara, karena di kawasan Kabupaten Hulu Sungai Utara sungai Bahan/sungai Negara bercabang ke arah hulunya menjadi dua yaitu daerah aliran sungai Tabalong dan daerah aliran sungai Balangan. Menurut kebiasaan di Kalimantan, penamaan sebuah sungai biasanya berdasarkan nama kawasan yang ada di sebelah hulunya. Karena itu penamaan sungai Tabalong berdasarkan nama daerah yang ada di sebelah hulu dari sungai tersebut, yang pada zaman Hindia Belanda disebut Distrik Tabalong. Sungai Tabalong adalah anak sungai Bahan, sedangkan sungai Bahan adalah anak sungai Barito yang bermuara ke laut Jawa.
SEJARAH KERAJAAN/KESULTANAN BULUNGAN

SEJARAH KERAJAAN/KESULTANAN BULUNGAN

Kesultanan Bulungan atau Bulongan adalah kesultanan yang pernah menguasai wilayah pesisir Kabupaten Bulungan, Kabupaten Malinau, Kabupaten Nunukan, dan Kota Tarakan sekarang. Kesultanan ini berdiri pada tahun 1731, dengan raja pertama bernama Wira Amir gelar Amiril Mukminin (1731–1777), dan Raja Kesultanan Bulungan yang terakhir atau ke-13 adalah Datuk Tiras gelar Sultan Maulana Muhammad Djalalluddin (1931-1958). Negeri Bulungan bekas daerah milik "negara Berau" yang telah memisahkan diri sehingga dalam perjanjian Kesultanan Banjar dengan VOC-Belanda dianggap sebagai bagian dari "negara Berau" (Berau bekas vazal Banjar). Pada kenyataannya sampai tahun 1850, Bulungan berada di bawah dominasi Kesultanan Sulu.

Sejarah Kerajaan Bulungan

Atraksi Mendayung saat kedatangan pejabat kolonial ke Kesultanan Bulungan (hingga 1930).
SEJARAH SINGKAT KESULTANAN SAMBAS

SEJARAH SINGKAT KESULTANAN SAMBAS

Kesultanan Sambas adalah kesultanan yang terletak di wilayah pesisir utara Propinsi Kalimantan Barat atau wilayah barat laut Pulau Borneo (Kalimantan)dengan pusat pemerintahannya adalah di Kota Sambas sekarang. Kesultanan Sambas adalah penerus dari kerajaan-kerajaan Sambas sebelumnya. Kerajaan yang bernama Sambas di Pulau Borneo atau Kalimantan ini telah ada paling tidak sebelum abad ke-14 M sebagaimana yang tercantum dalam Kitab Negara Kertagama karya Prapanca. Pada masa itu Rajanya mempunyai gelaran "Nek" yaitu salah satunya bernama Nek Riuh. Setelah masa Nek Riuh, pada sekitar abad ke-15 M muncul pemerintahan Raja yang bernama
KESULTANAN PONTIANAK

KESULTANAN PONTIANAK

Download Artikelnya Di Sini
Pasword Di Sini

Kadriyah Pontianak adalah sebuah kesultanan Melayu yang didirikan pada tahun 1771 oleh Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie, keturunan Rasulullah dari Imam Ali ar-Ridha di daerah muara Sungai Kapuas yang termasuk kawasan yang diserahkan Sultan Banten kepada VOC Belanda. Ia melakukan dua pernikahan politik di Kalimantan, pertama dengan putri dari Kerajaan Mempawah dan kedua dengan putri dari Kesultanan Banjar (Ratu Syarif Abdul Rahman, putri dari Sultan Tamjidillah I, sehingga ia dianugerahi gelar Pangeran). Setelah mereka mendapatkan tempat di Pontianak, kemudian mendirikan Istana Kadriyah dan mendapatkan pengesahan sebagai Sultan Pontianak dari Belanda pada tahun 1779.


Awal Berdiri

Kesultanan ini didirikan oleh Syarif Abdurrahman Alkadrie, seorang putra ulama keturunan Arab Hadramaut dari Kerajaan Mempawah, pada hari Rabu, 23 Oktober 1771 (14 Rajab 1185 H) yang ditandai dengan membuka hutan di persimpangan Sungai Landak, Sungai Kapuas Kecil, dan Sungai Kapuas Besar untuk mendirikan balai dan rumah sebagai tempat tinggal. Pada tahun 1778 (1192 H), Syarif Abdurrahman dikukuhkan menjadi Sultan Pontianak. Letak pusat pemerintahan ditandai dengan berdirinya Masjid Jami Pontianak (kini bernama Masjid Sultan Syarif Abdurrahman) dan Istana Kadariyah yang sekarang terletak di Kelurahan Dalam BugisKecamatan Pontianak TimurKota Pontianak.


Masa Pendudukan Kolonial

Pada tahun 1778, kolonialis Belanda dari Batavia memasuki Pontianak dengan dipimpin oleh Willem Ardinpalm. Belanda saat itu menempati daerah di seberang istana kesultanan yang kini dikenal dengan daerah Tanah Seribu atau Verkendepaal. Palm kemudian digantikan oleh Wolter Markus Stuart yang bertindak sebagai Resident van Borneo’s Wester Afdeling I (1779-1784) dengan kedudukan di Pontianak. Semula, Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie menolak tawaran kerjasama dengan negeri asing dari Eropa itu. Namun setelah utusan itu datang untuk kedua kalinya, Syarif menerima Belanda sebagai rekan persemakmuran dengan tangan terbuka.
Pada tanggal 5 Juli 1779Belanda membuat perjanjian dengan Sultan mengenai penduduk Tanah Seribu agar dapat dijadikan daerah kegiatan bangsa Belanda yang kemudian menjadi kedudukan pemerintahan Resident het Hoofd Westeraffieling van Borneo (Kepala Daerah Keresidenan Borneo Barat) dan Asistent Resident het Hoofd der Affleeling van Pontianak (Asisten Residen Kepala Daerah Kabupaten Pontianak). Area ini selanjutnya menjadi Controleur het Hoofd Onderafdeeling van Pontianak atau Hoofd Plaatselijk Bestuur van Pontianak.
Pada tahun 1808, Sultan Syarif Abdurrahman wafat. Dia dimakamkan di Batu Layang, Pontianak. Selanjutnya, Syarif Kasim Alkadrie (1808-1819) naik tahta menjadi Sultan Pontianak menggantikan ayahnya. Di bawah kekuasaan Sultan Syarif Kasim, Kesultanan Pontianak semakin mempererat kerjasama dengan Kerajaan Belanda dan kemudianKerajaan Inggris sejak tahun 1811.
Setelah Sultan Syarif Kasim wafat pada 25 Februari 1819, Syarif Usman Alkadrie (1819-1855) naik tahta sebagai Sultan Pontianak. Pada masa kekuasaan Sultan Syarif Usman, banyak kebijakan bermanfaat yang dikeluarkan olehnya, termasuk dengan meneruskan proyek pembangunan Masjid Jami’ pada 1821 dan perluasan Istana Kadriyah pada tahun 1855. Pada April 1855, Sultan Syarif Usman meletakkan jabatannya sebagai sultan dan kemudian wafat pada 1860.
Anak tertua Sultan Syarif Usman, Syarif Hamid Alkadrie (1855-1872), kemudian dinobatkan sebagai Sultan Pontianak pada 12 April 1855. Dan ketika Sultan Syarif Hamid wafat pada 1872, putra tertuanya, Syarif Yusuf Alkadrie (1872-1895) naik tahta sebagai beberapa bulan setelah ayahanya wafat. Sultan Syarif Yusuf dikenal sebagai satu-satunya sultan yang paling sedikit mencampuri urusan pemerintahan. Dia lebih aktif dalam bidang keagamaan, sekaligus merangkap sebagai penyebar agama Islam.
Pemerintahan Sultan Syarif Yusuf berakhir pada 15 Maret 1895. Dia digantikan oleh putranya, Syarif Muhammad Alkadrie (1895-1944) yang dinobatkan sebagai Sultan Pontianak pada 6 Agustus 1895. Pada masa ini, hubungan kerjasama Kesultanan Pontianak dengan Belanda semakin erat dan kuat. Masa pemerintahan Sultan Syarif Muhammad merupakan masa pemerintahan terpanjang dalam sejarah Kesultanan Pontianak. Ia sangat berperan dalam mendorong terjadinya pembaruan dan moderenisasi diPontianak. Dalam bidang sosial dan kebudayaan, dia adalah sultan Melayu di Kalimantan Barat yang pertama kali berpakaian kebesaran Eropa di samping pakaian Melayu,Teluk Belanga, sebagai pakaian resmi. Dia juga orang yang menyokong majunya bidang pendidikan serta kesehatan. Selain itu, ia juga mendorong masuknya modal swastaEropa dan Cina, serta mendukung bangsa Melayu dan Cina mengembangkan perkebunan karet, kelapa, dan kopra serta industri minyak kelapa di Pontianak. Sementara dalam aspek politik, Sultan memfasilitasi berdiri dan berkembangnya organisasi-organisasi politik, baik yang dilakukan oleh kerabat kesultanan maupun tokoh-tokoh masyarakat.

Masa Pendudukan Jepang

Era kekuasaan Sultan Syarif Muhammad redup seketika seiring kedatangan bala tentara Kekaisaran Jepang ke Pontianak pada tahun1942. Pada 24 Januari 1944, karena dianggap memberontak dan bersekutu dengan BelandaJepang menghancurkan Kesultanan Pontianak dan beberapa kesultanan-kesultanan Melayu di Kalimantan Barat.
Pihak Jepang sebenarnya sudah mencurigai bahwa di Kalimantan Barat terdapat komplotan-komplotan yang terdiri atas kaum cendikiawan, para bangsawan, raja, sultan, tokoh masyarakat, orang-orang Tionghoa, dan para pejabat. Sehingga mereka berinisiatif untuk menghancurkan mereka dengan penangkapan-penangkapan. Penangkapan-penangkapan tersebut terjadi antara September 1943dan awal 1944. Tak hanya melakukan penangkapan-penangkapan, Jepang juga melakukan penyiksaan dan pembunuhan massal terhadap ribuan penduduk Pontianak dan sekitarnya. Pada 28 Juni 1944Jepang menghabisi Sultan Syarif Muhammad beserta beberapa anggota keluarga dan kerabat kesultanan, pemuka adat, para cendekiawan, dan tokoh masyarakat Pontianak. Nasib sama juga menimpa para raja dan sultan lain serta masyarakat di Kalimantan Barat. Tragedi berdarah ini kemudian dikenal dengan sebutan Peristiwa Mandor. Pembunuhan Sultan Syarif Muhammad dan tindakan semena-mena Jepang inilah yang menjadi faktor utama terjadinya Perang Dayak Desa.
Jenazah Sultan Syarif Muhammad baru ditemukan pada 1946 oleh putranya yang bernama Syarif Hamid Alkadrie. Syarif Hamid bisa selamat dari genosida itu karena tidak sedang berada di Pontianak. Saat itu ia menjadi tawanan perang Jepang di Batavia sejak 1942 dan bebas pada 1945.

Masa Kemerdekaan

Syarif Hamid kembali ke Pontianak dan dinobatkan menjadi Sultan Pontianak (1945-1978) pada 29 Oktober 1945 dengan gelar Sultan Syarif Hamid II, atau lebih dikenal dengan nama Sultan Hamid II.
Setelah peristiwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, atas prakarsa Sultan Hamid II inilah, Kesultanan Pontianak dan kesultanan-kesultanan Melayu di Kalimantan Barat bergabung dengan Republik Indonesia Serikat. Pada masa itu Sultan Hamid IImenjabat sebagai Presiden Negara Kalimantan Barat (Kepala Daerah Istimewa Kalimantan Barat) pada 1947-1950Sultan Hamid IIadalah perancang Lambang Negara Indonesia. Selain sebagai Ketua Perhimpunan Musyawarah Federal (Bijeenkomst voor Federaal Overleg / BFO) pada tahun 1949, ia juga menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio di Kabinet Republik Indonesia Serikat.
Pada 28 Oktober 1946, Pemerintah Sipil Hindia Belanda sebagai Dewan Borneo Barat membentuk Daerah Istimewa Kalimantan Barat dan mendapat kedudukan sebagai Daerah Istimewa pada 12 Mei 1947. Daerah Istimewa Kalimantan Barat meliputi monarki-monarki (swapraja) di Kalimantan Barat, termasuk Kesultanan Pontianak. Saat itu Sultan Hamid II ditujuk sebagai Kepala Daerah Istimewa Kalimantan Barat. Sebelum 5 April 1950, Daerah Istimewa Kalimantan Barat bergabung dengan Negara Republik Indonesia (RIS). Daerahnya kemudian menjadi bagian dari Provinsi Administratif Kalimantan. Setelah pembubaran Republik Indonesia Serikat pada 17 Agustus 1950, wilayah Kesultanan Pontianak menjadi bagian Provinsi Kalimantan Barat.
Setelah Sultan Hamid II wafat pada 30 Maret 1978, terjadi kekosongan jabatan sultan di keluarga Kesultanan Paontianak. Kekosongan jabatan itu bahkan berlangsung selama 25 tahun. Namun pada 15 Januari 2004, pihak bangsawan Istana Kadriyah mengangkat Syarif Abubakar Alkadrie sebagai Sultan Pontianak. Jauh sebelumnya, tepatnya pada 29 Januari 2001 seorang bangsawan senior, Syarifah Khadijah Alkadrie, mengukuhkan Kerabat Muda Istana Kadriah Kesultanan Pontianak. Kerabat Muda ini bertujuan menjaga segala tradisi dan nilai budaya Melayu Pontianak, termasuk menghidupkan dan melestarikannya.

Sultan Berkuasa


1Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie bin Habib Husein Alkadrie1 September 1778 – 28 Februari 1808
2Sultan Syarif Kasim Alkadrie bin Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie28 Februari 1808 – 25 Februari 1819
3Sultan Syarif Usman Alkadrie bin Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie[4]25 Februari 1819 – 12 April 1855
4Sultan Syarif Hamid Alkadrie bin Sultan Syarif Usman Alkadrie12 April 1855 – 22 Agustus 1872
5Sultan Syarif Yusuf Alkadrie bin Sultan Syarif Hamid Alkadrie22 Agustus 1872 – 15 Maret 1895
6Sultan Syarif Muhammad Alkadrie bin Sultan Syarif Yusuf Alkadrie15 Maret 1895 – 24 Juni 1944
*Interregnum24 Juni 1944 – 29 Oktober 1945
7Mayjen KNIL Sultan Hamid II (Sultan Syarif Hamid Alkadrie bin Sultan Syarif Muhammad Alkadrie)29 Oktober 1945 – 30 Maret 1978
*Interregnum30 Maret 1978 – 15 Januari 2004
8Sultan Syarif Abubakar Alkadrie bin Syarif Mahmud Alkadrie bin Sultan Syarif Muhammad Alkadrie[5]15 Januari 2004 – Sekarang