SEJARAH KERAJAAN KARANGASEM

SEJARAH KERAJAAN KARANGASEM

Download Artikelnya Di Sini

Berdirinya Kerajaan Karangasem


Kerajaan Karangasem adalah salah satu kerajaan Hindu yang berdiri pada abad ke-17 di bagian timur Pulau Bali. Pada masa kejayaannya, Kerajaan Karangasem bahkan memiliki wilayah kekuasaan hingga Pulau Lombok. Setelah ditaklukkan Belanda pada tahun 1894, kerajaan ini berada di bawah kekuasaan pemerintah Hindia Belanda. Setelah kemerdekaan Republik Indonesia, Kerajaan Karangasem berstatus sebagai Daerah Tingkat II Karangasem dalam pemerintahan Provinsi Bali.

Proses Berdirinya Kerajaan

Pada abad ke-16 sampai abad ke-17, Karangasem berada di bawah kekuasaan Kerajaan Gelgel, dengan rajanya I Dewa Karangamla yang berkedudukan di Selagumi (Balepunduk). I Dewa Karangamla menikahi janda I Gusti Arya Batanjeruk, patih kerajaan yang melakukan pemberontakan dan dibunuh di Desa Bungaya, dengan syarat bahwa setelah pernikahan keduanya, kelak anak dari janda Batanjeruklah yang menjadi penguasa. Syarat ini disetujui dan kemudian keluarga I Dewa Karangamla berpindah dari Selagumi ke Batuaya. I Dewa Karangamla juga mempunyai putra dari istrinya yang lain bernama I Dewa Gde Batuaya. Penyerahan kekuasaan kepada putra dari janda Batanjeruk inilah menandai awal mula berdirinya Kerajaan Karangasem yang dipegang oleh Dinasti Batangjeruk.

Asal Nama Karangasem

Nama Karangasem sebenarnya berasal dari kata Karang Semadi. Beberapa catatan yang memuat asal-muasal namaKarangasem adalah seperti yang diungkapkan dalam Prasasti Sading C yang terdapat di Geria Mandara, Munggu, Badung. Lebih lanjut diungkapkan bahwa Gunung Lempuyang di timur laut Amlapura, pada mulanya bernama Adri Karang yang berarti Gunung Karang.
Pada prasasti tersebut diceritakan, bahwa pada tahun 1072 Sakatanggal 12 bulan separo terangWuku Julungwangi di bulan Cetra, Bathara Guru menitahkan puteranya yang bernama Sri Maharaja Jayasakti atau Hyang Agnijaya untuk turun ke Bali. Tugas yang diemban seperti dikutip dalam prasasti berbunyi ”...gumawyeana Dharma rikang Adri Karang maka kerahayuan ing Jagat Bangsul...”, yang artinya ”datang ke Adri Karang membuat Pura (Dharma) untuk memberikan keselamatan lahir-batin bagi Pulau Dewata”.
Hyang Agnijaya diceritakan datang bersama dengan saudara-saudaranya yaitu Sambhu, Brahma, Indra, dan Wisnu di Adri Karang (Gunung Lempuyang di sebelah timur laut kota Amlapura). Gunung Lempuyang dipilih Bathara Guru sebagai tempat untuk menyebarkan kasih-Nya bagi keselamatan umat manusia.
Dalam penelitian sejarah keberadaan pura, Lempuyang dihubungkan dengan kata lampu yang artinya terpilih, dan Hyang yang berarti Tuhan (Bathara Guru, Hyang Parameswara). Di Adri Karang inilah Hyang Agnijaya membuat Pura Lempuyang Luhur sebagai tempat bersemadi (Karang Semadi). Lambat laun nama Karang Semadi ini berubah menjadi Karangasem.

Masa Penjajahan

Setelah Raja I Gusti Anglurah Ketut Karangasem wafat, pemerintahan Kerajaan Karangasem dipegang oleh I Gusti Gede Karangasem (Dewata di Tohpati) antara tahun 1801-1806. Pada saat itu wilayah Kerajaan Karangasem semakin besar yang meluaskan kekuasaannya sampai ke Buleleng dan Jembrana. Setelah wafat, I Gusti Gede Ngurah Karangasem digantikan oleh putranya bernama I Gusti Lanang Peguyangan yang juga dikenal dengan nama I Gusti Gede Lanang Karangasem.
Kemenangan Kerajaan Buleleng melawan kekuasaan Kerajaan Karangasem menyebabkan raja Karangasem, I Gusti Lanang Peguyangan, menyingkir dan saat itu Kerajaan Karangasem berbalik dikuasai oleh raja Buleleng, I Dewa Pahang. Kekuasaan akhirnya dapat direbut kembali oleh I Gusti Lanang Peguyangan. Pemberontakan seorang punggawa kerajaan yang bernama I Gusti Bagus Karang pada tahun 1827 berhasil menggulingkan I Gusti Lanang Peguyangan sehingga melarikan diri ke Lombok, dan tahta Kerajaan Karangasem dipegang oleh I Gusti Bagus Karang.
Ketika I Gusti Bagus Karang gugur dalam menyerang Lombok, pada saat yang sama raja Buleleng, I Gusti Ngurah Made Karangasem, berhasil menaklukan Karangasem dan mengangkat menantunya I Gusti Gede Cotong menjadi raja Karangasem. Setelah I Gusti Gede Cotong terbunuh akibat perebutan kekuasaan, tahta Karangasem dilanjutkan oleh saudara sepupu raja Buleleng yaitu I Gusti Ngurah Gede Karangasem.
Kelompok-kelompok bangsawan Bali dari Kerajaan Karangasem kemudian mulai menguasai bagian barat Pulau Lombok. Salah satu dari mereka, yaitu kelompok Bali-Mataram, berhasil menguasai lebih banyak daripada kelompok asal Bali lainnya, dan bahkan pada akhirnya menguasai keseluruhan pulau ini pada tahun1839. Sejak saat itu kebudayaan istana Bali juga turut berkembang di Lombok.
Pada tanggal 25 Agustus 1891, putra penguasa Bali-Mataram yaitu Anak Agung Ketut Karangasem dikirim beserta 8.000 orang tentara untuk menumpas pemberontakan di Praya, yang termasuk wilayah Kerajaan Selaparang. Pada tanggal 8 September, pasukan kedua di bawah putra lainnya Anak Agung Made Karangasem yang berkekuatan 3.000 orang dikirimkan sebagai pasukan tambahan. Karena tentara kerajaan tampak dalam kesulitan untuk mengatasi keadaan, diminta lagi bantuan penguasa bawahan Karangasem, yaitu Anak Agung Gede Jelantik, untuk mengirimkan 1.200 orang pasukan elit untuk menuntaskan pemberontakan. Perang berkecamuk berkepanjangan sejak 1891 hingga 1894, dan tentara Bali-Mataram yang lebih canggih persenjatannya dilengkapi dengan dua kapal perang modern, Sri Mataram dan Sri Cakra, berhasil menduduki banyak desa yang memberontak dan mengelilingi kubu perlawanan Sasak yang terakhir.
Pada tanggal 8 November 1894, Belanda secara sistematis menembakkan meriam kepada posisi pasukan Bali di Cakranegara, sehingga menghancurkan istana, menewaskan sekitar 2.000 orang Bali, sementara mereka sendiri kehilangan 166 orang. Pada akhir November1894, Belanda telah berhasil mengalahkan semua perlawanan Bali, dengan ribuan orang Bali menjadi korban tewas, menyerah, atau melakukan ritual puputan. Lombok dan Karangasem selanjutnya menjadi bagian dari Hindia Belanda, dan pemerintahan dijalankan dari Bali. Gusti Gede Jelantik diangkat sebagai Regent oleh Belanda pada tahun 1894, dan ia memerintah hingga tahun 1908.

Belanda

Setelah masuknya Belanda, membawa pengaruh pula dalam hal birokrasi pemerintahan. Pada tahun 1906 di Bali terdapat tiga macam bentuk pemerintahan yaitu:
  • Rechtstreeks bestuurd gebied (pemerintahan langsung) meliputi Buleleng, Jembrana, dan Lombok
  • Zelfbestuurend landschappen (pemerintahan sendiri) ialah Badung, Tabanan, Klungkung, dan Bangli
  • Stedehouder (wakil pemerintah Belanda) ialah Gianyar dan Karangasem
Demikianlah di Kerajaan Karangasem berturut-turut yang menjadi Stedehouder (penguasa) yaitu I Gusti Gede Jelantik pada tahun 1894-1908, dan Stedehouder I Gusti Bagus Jelantik yang bergelar Anak Agung Agung Anglurah Ketut Karangasem (Dewata di Maskerdam) pada tahun 1908-1950, yang membawahi 21 Punggawa, yaitu Karangasem, Seraya, Bugbug, Ababi, Abang, Culik, Kubu, Tianyar, Pesedahan, Manggis, Antiga, Ulakan, Bebandem. Dengan Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda tertanggal 16 Desember 1921No. 27 Stbl. No. 756 tahun 1921, terhitung mulai tanggal 1 Januari 1922, Gouvernements Lanschap Karangasem dihapuskan, dirubah menjadi daerah otonomi, langsung di bawah Pemerintahan Hindia Belanda, terbentuklah Karangasem Raad yang diketuai oleh Regent I Gusti Bagus Jelantik, sedangkan sebagai Sekretaris dijabat oleh Controleur Karangasem.
Sebagai Regent, I Gusti Bagus Jelantik masih mempergunakan gelar Stedehouder. Jumlah Punggawa yang sebelumnya berjumlah 14 buah dikurangi lagi sehingga menjadi 8 buah, yaitu: Rendang, Selat, Sidemen, Bebandem, Manggis, Karangasem, Abang, Kubu. Dengan Keputusan Gubernur Jendral Hindia Belanda tertanggal 4 September 1928 No. 1, gelar Stedehouder diganti dengan gelar Anak Agung Agung Anglurah Ketut Karangasem. Dengan Keputusan Gubernur Jendral Hindia Belanda tertanggal 30 Juni 1938 No. 1 terhitung mulai tanggal 1 Juli 1938 dia diangkat menjadi Zelfbestuur Karangasem (kepala swapraja). Bersamaan dengan terbentuknya ZelfbestuurKarangasem, terhitung mulai tanggal 1 Juli 1938 terbentuk pulalah ZelfbestuurZelfbestuur di seluruh Bali, yaitu Klungkung, Bangli, Gianyar, Badung, Tabanan, Jembrana dan Buleleng, di mana penguasa swapraja-swapraja (Zelfbestuur) tersebut tergabung dalam federasi raja-raja yang disebut Paruman Agung.
Dalam kehidupan sosial-budaya, akibat pengaruh pendidikan yang didapat pada abad ke-19, banyak para pemuda intelektual di berbagai daerah di Bali mendirikan perkumpulan-perkumpulan dan organisasi kepemudaan, keagamaan, dan ilmu pengetahuan. Pada tahun 1925 di Singaraja didirikan sebuah perkumpulan yang diberi nama "Suryakanta" dan memiliki sebuah majalah yang juga diberi nama "Suryakanta". Suryakanta menginginkan agar masyarakat Bali mengalami kemajuan dalam bidang pengetahuan dan menghapuskan adat istiadat yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Sementara itu, di Karangasem lahir suatu perhimpunan yang bernama "Satya Samudaya Baudanda Bali-Lombok" yang anggotanya terdiri atas pegawai negeri dan masyarakat umum dengan tujuan menyimpan dan mengumpulkan uang untuk kepentingan studiefonds.

Jepang

Setelah melalui beberapa pertempuran, tentara Jepang mendarat di Pantai Sanur, Badung, pada tanggal 18 dan 19 Februari 1942. Dari arah Sanur ini tentara Jepang memasuki kota Denpasar dengan tidak mengalami perlawanan apa-apa. Kemudian, dari Denpasar inilah Jepang menguasai seluruh Bali, termasuk Karangasem. Pertama-tama, yang meletakkan dasar kekuasaan Jepang di Bali adalah pasukan Angkatan Darat Jepang (Rikugun). Kemudian, ketika suasana sudah stabil penguasaan pemerintahan diserahkan kepada pemerintahan sipil. Pada saat Jepang masuk ke Bali, Paruman Agung atau dewan raja-raja Bali diubah menjadi Sutyo Renmei.

kemerdekaan

Pada tahun 1945 setelah Jepang menyerah dan kemerdekaan Republik Indonesia, Bali menjadi bagian dari Pemerintah Negara Indonesia Timur. Negara Indonesia Timur bubar dan semua wilayahnya melebur ke dalam Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1950. Pemerintahan swapraja-swapraja (kerajaan) di Bali diubah menjadi Dewan Raja-Raja dengan berkedudukan di Denpasar dan diketuai oleh seorang raja. Pada bulan Oktober 1950, pemerintahan Swapraja Karangasem berbentuk Dewan Pemerintahan Karangasem yang diketuai oleh ketua Dewan Pemerintahan Harian yang dijabat oleh Kepala Swapraja (Raja) serta dibantu oleh para anggota Majelis Pemerintah Harian.
Pada tahun 1951, istilah Anggota Majelis Pemerintah Harian diganti menjadi Anggota Dewan Pemerintah Karangasem. Berdasarkan UU No. 69 tahun 1958 terhitung mulai tanggal 1 Desember 1958, daerah-daerah swapraja di Bali diubah menjadi Daerah Tingkat II setingkat kabupaten, termasuk Karangasem.

Daftar Raja


  • Gusti Nyoman Karang (1600)
  • Anglurah Ketut Karang
  • Anglurah Nengah Karangasem
  • Anglurah Ketut Karangasem (1691-1692)
  • Anglurah Made Karang
  • Gusti Wayahan Karangasem (w. 1730)
  • Anglurah Made Karangasem Sakti alias Bagawan Atapa Rare (1730-1775)
  • Gusti Gede Ngurah Karangasem (1775–1806)
  • Gusti Gede Ngurah Lanang (periode pertama, 1806–1822)
  • Gusti Gede Ngurah Pahang (1822)
  • Gusti Gede Ngurah Lanang (periode ke dua, 1822-1828)
  • Gusti Bagus Karang (1828–1838)
  • Gusti Gede Ngurah Karangasem (1838–1849)
  • Gusti Made Jungutan alias Gusti Made Karangasem (1849-1850)
  • Gusti Gede Putu (sebagai penguasa bawahan, 1850-1893)
  • Gusti Gede Oka (sebagai penguasa bawahan, 1850-1890)
  • Gusti Gede Jelantik (1890–1908)
  • Anak Agung Agung Anglurah Ketut Karangasem (1908-1967)
  • Anak Agung Agung Made Jelantik (sebagai kepala keluarga besar Puri Agung Karangasem, 1967-2007)
  • Anak Agung Agung Gede Putra Agung (sebagai kepala keluarga besar Puri Agung Karangasem, 2009-Sekarang)
SEJARAH KERAJAAN BADUNG

SEJARAH KERAJAAN BADUNG

Kerajaan Badung

Asal Mula  Kerajaan Badung

Pada tahun 1343, Majapahit berkuasa di Bali dan berpusat di Samprangan dengan penguasanya, Sri Kresna Dalem Kepakisan, yang memiliki putra mahkota bergelar Dalem Pemahyun, yang kemudian menurunkan Sira Arya Tegeh Kori. Menurut cerita rakyat, Sira Arya Tegeh Kori melakukan perjalanan panjang menuju Pura Ulun Danau Batur dan memohon kepada Ida Bhatari Ulun Danu Batur untuk diberikan panugrahan agar kelak menjadi seorang yang berwibawa dan dihargai oleh rakyatnya. Doa Sira Arya Tegeh Kori dikabulkan oleh Ida Bhatari Batur, dan meminta Sira Arya Tegeh Kori agar pergi ke barat daya (Gumi Badeng) tepatnya di Tonjaya, sebuah wilayah yang ditempati oleh Ki Bendesa bersama para saudaranya Ki Pasek Kabayan, Ki Ngukuhin, dan Ki Tangkas. Atas prakarsa Ki Bendesa dan saudara-saudaranya, diputuskan melalui musyawarah bahwa Sira Arya Tegeh Kori diangkat menjadi penguasa di daerah tersebut.
Setelah itu bersama warganya, Ki Bendesa membangun istana untuk Sira Arya Tegeh Kori yang diberi nama Puri Benculuk dan menetapkan nama wilayah kekuasaannya menjadi Badung yang berasal dari kata Badeng, sesuai dengan titah Ida Bhatari Batur yakni "Tonja Yang Jakang Wana Badeng". Kemudian Sira Arya Tegeh Kori menghadap kepada penguasa Bali, Sri Kresna Dalem Kepakisan, yang bertahta di Samprangan dan melaporkan bahwa ia telah diangkat menjadi penguasa Badung pertama. Pada masa selanjutnya, para penguasa Badung sebagai bawahan dari Kerajaan Gelgel juga membangun Puri Ksatriya dan Puri Tegal Agung. Masa Pemerintahan para keturunan Tegeh Kori ini diperkirakan berlangsung pada tahun 1360-1750.
Pada akhir abad ke-18, kekuasaan Puri Ksatriya jatuh kepada Kyayi Ngurah Made, sebagai penerima tahta dari Kyayi Ngurah Jambe Ksatriya. Karena Puri Ksatriya telah rusak karena perang perebutan kekuasaan, maka pada masa kekuasaan Kyayi Ngurah Made, dia memerintahkan untuk membuat puri baru yang terletak di Tetaman Den-Pasar (den-pasar dalam Bahasa Bali berarti "utara pasar"), yang berada di sebelah selatan reruntuhan Puri Ksatriya. Pada tahun 1788 Puri Agung Denpasar secara resmi digunakan sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Badung dan Kyayi Ngurah Made sebagai Raja Denpasar I menggunakan gelar “I Gusti Ngurah Made Pemecutan”, mengingat dia keturunan dari Dinasti Pemecutan (1788-1813).

Intervensi Belanda


Kerajaan Badung adalah suatu kerajaan yang berdiri di Pulau Bali bagian selatan. Pusat pemerintahan Kerajaan Badung berada di Puri Agung Denpasar sampai akhirnya pasukan Belanda mengalahkan Kerajaan Badung melalui Perang Puputan Badung pada tahun 1906.
Hindia Belanda merestorasi kerajaan ini pada tahun 1929, dan menjadikan Badung sebagai wilayah swapraja pada tahun 1938. Setelah kemerdekaan Republik Indonesia, wilayah Kerajaan Badung berstatus sebagai Daerah Tingkat II Badung dan Daerah Tingkat II Denpasar dalam pemerintahan Provinsi Bali.
Pada tahun 1826, Belanda diizinkan I Gusti Made Ngurah Pemecutan (Raja Denpasar VI) untuk mendirikan stasiunnya di Kuta, sebagai balasan atas kerjasama itu raja mendapatkan hadiah yang sangat indah. Seorang pedagang berkebangsaan Denmark bernama Mads Johansen Lange yang datang ke Bali pada usia 18 tahun memegang peranan sebagai mediator antara Pemerintah Belanda dan Badung serta kerajaan-kerajaan lain di Bali. Mulai saat itu, Mads Lange yang lahir tahun 1806, dapat meningkatkan hubungan baik dengan raja-raja di Bali. Pada tahun 1856 Mads Lange sakit dan mohon pensiun serta memutuskan untuk kembali ke Denmark, namun sayang dia meninggal pada saat kapal yang akan ia tumpangi akan berangkat, dan akhirnya ia dimakamkan di Kuta.
Pada tahun 1904 sebuah kapal Cina berbendera Belanda bernama "Sri Komala" kandas di Pantai Sanur. Pihak pemerintah Belanda menuduh masyarakat setempat melucuti, merusak, dan merampas isi kapal dan menuntut kepada raja atas segala kerusakan itu sebesar 3.000 dolar perak dan menghukum orang-orang yang merusak kapal. Penolakan raja atas tuduhan dan pembayaran kompensasi itu, menyebabkan pemerintah Belanda mempersiapkan ekspedisi militernya ke Bali pada tanggal 20 September 1906. Tiga batalyon infantri dan 2 batalyon pasukan artileri segera mendarat dan menyerang Kerajaan Badung.
Setelah menyerang Badung, Belanda menyerbu kota Denpasar, hingga mencapai pintu gerbang kota, mereka belum mendapatkan perlawanan yang berarti namun tiba-tiba mereka disambut oleh segerombolan orang-orang berpakaian serba putih, siap melakukan "perang puputan" (mati berperang sampai titik darah terakhir). Dipimpin oleh raja dan para pendeta, pengawal, sanak saudara, laki-laki serta perempuan menghiasi diri dengan batu permata dan berpakaian perang keluar menuju tengah-tengah medan pertempuran. Hal itu dilakukan karena ajaran Hindu, bahwa tujuan kesatria adalah mati di medan perang sehingga arwah dapat masuk langsung ke surga. Menyerah dan mati dalam pengasingan adalah hal yang paling memalukan. Dikabarkan bahwa sebelum terjadi puputan, putra mahkota dari Raja Denpasar V bernama I Gusti Alit Ngurah yang usianya sudah menginjak 10 tahun, terlebih dahulu dilarikan oleh beberapa laskar khusus pengawal kerajaan didampingi ibunya serta beberapa keluarga dekat puri, pergi ke daerah barat tepatnya di Desa Seminyak,Kuta. Pada tanggal 17 Januari 1907, I Gusti Alit Ngurah pun ditangkap dan menjadi tawanan perang, serta diasingkan ke Mataram,Lombok, oleh pemerintah Hindia Belanda.
Setelah mengalami pengasingan selama lebih kurang sepuluh tahun, pada tanggal 1 Oktober 1917 atas desakan tokoh-tokoh masyarakat di Lombok seperti I Gusti Putu Griya dan Ida Pedanda Ketut Kelingan serta desakan masyarakat Badung, I Gusti Alit Ngurah akhirnya dikembalikan oleh pemerintah Hindia Belanda ke Badung, selain itu juga karena keamanan di Bali sudah relatif aman dan tidak ada tanda-tanda akan terjadinya pemberontakan.

Masa Penjajahan

Masa Belanda

Pada tahun 1929, setelah pembangunan kembali Puri Agung Denpasar yang hancur saat puputan, I Gusti Alit Ngurah diangkat oleh Hindia Belanda sebagai Regent Badung. Pemerintah Hindia Belanda mulai menerapkan sistem pemerintahan yang baru yaitu Zelfbestuur (pemerintahan swapraja) guna dapat mempermudah mengatur daerah jajahan yang demikian luasnya pada tanggal 1 Juli 1938, dan sistem ini diterapkan secara serentak di seluruh daerah Bali yang dibagi menjadi 8 landschapen, yaitu Buleleng, Jembrana, Tabanan, Badung, Gianyar, Bangli, Klungkung, dan Karangasem. Pada setiap landschapen diangkat seorang kepala daerah dengan sebutan Zelbestuurder (Raja).
Pemilihan kepala daerah tersebut masih dominan didasarkan atas keturunan raja atau dari keluarga raja sebelumnya. Sehubungan dengan hal tersebut maka untuk Zelbestuur Badung kekuasaan dipegang oleh I Gusti Alit Ngurah dari Puri Agung Denpasar dengan gelar Cokorda Alit Ngurah. Peresmian dan pengangkatan (abhiseka) dia dilakukan serentak dengan 8 raja-raja lainnya di Pura Besakih, Karangasem pada tanggal 30 Juni 1938. Peresmian dan pengangkatan ini dilakukan oleh Residen L.J.J. Caron. Para penguasa swapraja-swapraja (Zelfbestuur) tersebut tergabung dalam federasi raja-raja yang disebut Paruman Agung.


Masa Jepang

Setelah melalui beberapa pertempuran, tentara Jepang mendarat di Pantai Sanur pada tanggal 18 dan 19 Februari 1942. Dari arah Sanur ini tentara Jepang memasuki kota Denpasar dengan tidak mengalami perlawanan apa-apa. Kemudian, dari Denpasar inilah Jepang menguasai seluruh Bali. Pertama-tama, yang meletakkan dasar kekuasaan Jepang di Bali adalah pasukan Angkatan Darat Jepang (Rikugun). Kemudian, ketika suasana sudah stabil penguasaan pemerintahan diserahkan kepada pemerintahan sipil. Pada saat Jepang masuk ke Bali, Paruman Agung atau dewan raja-raja Bali diubah menjadi Sutyo Renmei.

Merdeka

Pada tahun 1945 setelah Jepang menyerah dan kemerdekaan Republik Indonesia, Bali menjadi bagian dari Pemerintah Negara Indonesia Timur. Negara Indonesia Timur bubar dan semua wilayahnya melebur ke dalam Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1950. Pemerintahan swapraja-swapraja (kerajaan) di Bali diubah menjadi Dewan Raja-Raja dengan berkedudukan di Denpasar dan diketuai oleh seorang raja. Pada bulan Oktober 1950, pemerintahan Swapraja Badung berbentuk Dewan Pemerintahan Badung yang diketuai oleh ketua Dewan Pemerintahan Harian yang dijabat oleh Kepala Swapraja (Raja) serta dibantu oleh para anggota Majelis Pemerintah Harian.
Berdasarkan UU No. 69 tahun 1958 terhitung mulai tanggal 1 Desember 1958, daerah-daerah swapraja di Bali diubah menjadi Daerah Tingkat II setingkat kabupaten, termasuk Badung. Denpasar menjadi ibu kota dari pemerintah daerah Kabupaten Badung, selanjutnya berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor Des.52/2/36-136 tanggal 23 Juni 1960, Denpasar juga ditetapkan sebagai ibu kota bagi Provinsi Bali yang semula berkedudukan di Singaraja.
Kemudian berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1978, Denpasar resmi menjadi kota administratif, dan seiring dengan kemampuan serta potensi wilayahnya dalam menyelenggarakan otonomi daerah, pada tanggal 15 Januari 1992, berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1992, dan Denpasar ditingkatkan statusnya menjadi kotamadya, yang kemudian diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri pada tanggal 27 Februari 1992.

Raja Yang Berkuasa

  • I Gusti Ngurah Made Pemecutan (1788–1813)
  • I Gusti Ngurah Jambe Pemecutan (1813–1817)
  • I Gusti Made Ngurah Pemecutan (1817–1829)
  • I Gusti Gede Ngurah Pemecutan (1829–1848)
  • I Gusti Alit Ngurah Pemecutan (1848–1902)
  • I Gusti Ngurah Made Agung Pemecutan (1902–1906)
  • Cokorda Alit Ngurah Pemecutan (1929–1965)
  • Cokorda Ngurah Agung Pemecutan (1965–1998)
  • Cokorda Ngurah Jambe Pemecutan (2005–Sekarang)

divine-music.info
divine-music.info

divine-music.info

Download Artikelnya Di Sini
Password Di Sini
JAKA TINGKIR

JAKA TINGKIR

Nama aslinya adalah Mas Karèbèt, putra Ki Ageng Pengging atau Ki Kebo Kenanga. Ketika ia dilahirkan, ayahnya sedang menggelar pertunjukan wayang beber dengan dalang Ki Ageng Tingkir. Kedua ki ageng ini adalah murid Syekh Siti Jenar. Sepulang dari mendalang, Ki Ageng Tingkir jatuh sakit dan meninggal dunia.
Sepuluh tahun kemudian, Ki Ageng Pengging dihukum mati karena dituduh memberontak terhadap Kerajaan Demak. Sebagai pelaksana hukuman ialah Sunan Kudus. Setelah kematian suaminya, Nyai Ageng Pengging jatuh sakit dan meninggal pula. Sejak itu, Mas Karebet diambil sebagai anak angkat Nyai Ageng Tingkir (janda Ki Ageng Tingkir).
Mas Karebet tumbuh menjadi pemuda yang gemar bertapa, dan dijuluki Jaka Tingkir. Guru pertamanya adalah Sunan Kalijaga. Ia juga berguru pada Ki Ageng Sela, dan dipersaudarakan dengan ketiga cucu Ki Ageng yaitu, Ki Juru MartaniKi Ageng Pemanahan, dan Ki Panjawi.

PENGABDIAN DI TANAH DEMAK

Babad Tanah Jawi selanjutnya mengisahkan, Jaka Tingkir ingin mengabdi ke ibu kota Demak. Di sana ia tinggal di rumah Kyai Gandamustaka (saudara Nyi Ageng Tingkir) yang menjadi perawat Masjid Demak berpangkat lurah ganjur. Jaka Tingkir pandai menarik simpati raja Demak Trenggana sehingga ia diangkat menjadi kepala prajurit Demakberpangkat lurah wiratamtama.
Beberapa waktu kemudian, Jaka Tingkir bertugas menyeleksi penerimaan prajurit baru. Ada seorang pelamar bernama Dadungawuk yang sombong dan suka pamer. Jaka Tingkir menguji kesaktiannya dan Dadungawuk tewas hanya dengan menggunakan Sadak Kinang. Akibatnya, Jaka Tingkir pun dipecat dari ketentaraan dan diusir dari Demak.
Jaka Tingkir kemudian berguru pada Ki Ageng Banyubiru atau Ki Kebo Kanigoro (saudara tua ayahnya / kakak mendiang ayahnya). Setelah tamat, ia kembali ke Demakbersama ketiga murid yang lain, yaitu Mas Manca, Mas Wila, dan Ki Wuragil.
Rombongan Jaka Tingkir menyusuri Sungai Kedung Srengenge menggunakan rakit. Muncul kawanan siluman buaya menyerang mereka namun dapat ditaklukkan. Bahkan, kawanan tersebut kemudian membantu mendorong rakit sampai ke tujuan.
Saat itu Trenggana sekeluarga sedang berwisata di Gunung Prawoto. Jaka Tingkir melepas seekor kerbau gila yang dinamakan sebagai Kebo Danu yang sudah diberi mantra (diberi tanah kuburan pada telinganya). Kerbau itu mengamuk menyerang pesanggrahan raja, di mana tidak ada prajurit yang mampu melukainya.
Jaka Tingkir tampil menghadapi kerbau gila. Kerbau itu dengan mudah dibunuhnya. Atas jasanya itu, Trenggana mengangkat kembali Jaka Tingkir menjadi lurah wiratamtama.
Kisah dalam babad tersebut seolah hanya kiasan, bahwa setelah dipecat, Jaka Tingkir menciptakan kerusuhan di Demak, dan ia tampil sebagai pahlawan yang meredakannya. Oleh karena itu, ia pun mendapatkan simpati raja kembali.

MENJADI RAJA PAJANG

Prestasi Jaka Tingkir sangat cemerlang meskipun tidak diceritakan secara jelas dalam Babad Tanah Jawi. Hal itu dapat dilihat dengan diangkatnya Jaka Tingkir sebagai AdipatiPajang bergelar Adipati Adiwijaya. Ia juga menikahi Ratu Mas Cempaka, putri Trenggana.
Sepeninggal Trenggana tahun 1546, puteranya yang bergelar Sunan Prawoto seharusnya naik takhta, tapi kemudian ia tewas dibunuh Arya Penangsang (sepupunya di Jipang) tahun 1549. Arya Penangsang membunuh karena Sunan Prawoto sebelumnya juga membunuh ayah Aryo Penangsang yang bernama Pangeran Sekar Seda Lepen sewaktu ia menyelesaikan salat ashar di tepi Bengawan Sore. Pangeran Sekar merupakan adik kandung Trenggana sekaligus juga merupakan murid pertama Sunan Kudus. Pembunuhan-pembunuhan ini dilakukan dengan menggunakan Keris Kiai Setan Kober. Selain itu Aryo Penangsang juga membunuh Pangeran Hadiri suami dari Ratu Kalinyamat yang menjadi bupati Jepara.
Kemudian Aryo Penangsang mengirim utusan untuk membunuh Adiwijaya di Pajang, tapi gagal. Justru Adiwijaya menjamu para pembunuh itu dengan baik, serta memberi mereka hadiah untuk mempermalukan Arya Penangsang.
Sepeninggal suaminya, Ratu Kalinyamat (adik Sunan Prawoto) mendesak Adiwijaya agar menumpas Aryo Penangsang karena hanya ia yang setara kesaktiannya dengan adipati Jipang tersebut. Adiwijaya segan memerangi Aryo Penangsang secara langsung karena sama-sama anggota keluarga Demak dan merupakan saudara seperguruan sama-sama murid Sunan Kudus.
Maka, Adiwijaya pun mengadakan sayembara. Barangsiapa dapat membunuh Aryo Penangsang akan mendapatkan tanah Pati dan mentaok/Mataram sebagai hadiah.
Sayembara diikuti kedua cucu Ki Ageng Sela, yaitu Ki Ageng Pemanahan dan Ki Panjawi. Dalam perang itu, Ki Juru Martani (kakak ipar Ki Ageng Pemanahan) berhasil menyusun siasat cerdik sehingga sehingga Sutawijaya (Anak Ki Ageng Pemanahan) dapat menewaskan Arya Penangsang setelah menusukkan Tombak Kyai Plered ketika Aryo Penangsang menyeberang Bengawan Sore dengan mengendarai Kuda Jantan Gagak Rimang.
Setelah peristiwa tahun 1549 tersebut, Pusat kerajaan tersebut kemudian dipindah ke Pajang dengan Hadiwijaya sebagai raja pertama. Demak kemudian dijadikan Kadipaten dengan anak Sunan Prawoto yang menjadi Adipatinya
Hadiwijaya juga mengangkat rekan-rekan seperjuangannya dalam pemerintahan. Mas Manca dijadikan patih bergelar Patih Mancanegara, sedangkan Mas Wila dan Ki Wuragil dijadikan menteri berpangkat ngabehi.

MENGUASAI JAWA TIMUR

Saat naik takhta, kekuasaan Adiwijaya hanya mencakup wilayah Jawa Tengah saja, karena sepeninggal Trenggana, banyak daerah bawahan Demak yang melepaskan diri.
Negeri-negeri di Jawa Timur yang tergabung dalam Persekutuan Adipati Bang Wetan saat itu dipimpin oleh Panji Wiryakrama bupati Surabaya. Persekutuan adipati tersebut sedang menghadapi ancaman invansi dari berbagai penjuru, yaitu PajangMadura, dan Blambangan.
Pada tahun 1568 Sunan Prapen penguasa Giri Kedaton menjadi mediator pertemuan antara Hadiwijaya raja Pajang di atas negeri yang mereka pimpin. Sebagai tanda ikatan politik, Panji Wiryakrama diambil sebagai menantu Adiwijaya.
Selain itu, Adiwijaya juga berhasil menundukkan Madura setelah penguasa pulau itu yang bernama Raden Pratanu bergelar Panembahan Lemah Duwur Arosbaya menjadi menantunya.
Dalam pertemuan tahun 1568 itu, Sunan Prapen untuk pertama kalinya berjumpa dengan Ki Ageng Pemanahan dan untuk kedua kalinya meramalkan bahwa Pajang akan ditaklukkan Mataram melalui keturunan Ki Ageng tersebut.
Mendengar ramalan tersebut, Adiwijaya tidak lagi merasa cemas karena ia menyerahkan semuanya pada kehendak takdir.

PEMBERONTAKAN SUTAWIJAYA

Sutawijaya adalah putra Ki Ageng Pemanahan yang juga menjadi anak angkat Hadiwijaya. Sepeninggal ayahnya tahun 1575, Sutawijaya menjadi penguasa baru di Mataram, dan diberi hak untuk tidak menghadap selama setahun penuh.
Waktu setahun berlalu dan Sutawijaya tidak datang menghadap. Adiwijaya mengirim Ngabehi Wilamarta dan Ngabehi Wuragil untuk menanyakan kesetiaan Mataram. Mereka menemukan Sutawijaya bersikap kurang sopan dan terkesan ingin memberontak. Namun kedua pejabat senior itu pandai menenangkan hati Adiwijaya melalui laporan mereka yang disampaikan secara halus.
Tahun demi tahun berlalu. Adiwijaya mendengar kemajuan Mataram semakin pesat. Ia pun kembali mengirim utusan untuk menyelidiki kesetiaan Sutawijaya. Kali ini yang berangkat adalah Pangeran Benawa (putra mahkota), Arya Pamalad (menantu yang menjadi adipati Tuban), serta Patih Mancanegara. Ketiganya dijamu dengan pesta olehSutawijaya. Di tengah keramaian pesta, putra sulung Sutawijaya yang bernama Raden Rangga membunuh seorang prajurit Tuban yang didesak Arya Pamalad. Arya Pamalad sendiri sejak awal kurang suka dengan Sutawijaya sekeluarga.
Maka sesampainya di Pajang, Arya Pamalad melaporkan keburukan Sutawijaya, sedangkan Pangeran Benawa menjelaskan kalau peristiwa pembunuhan tersebut hanya kecelakaan saja. Hadiwijaya menerima kedua laporan itu dan berusaha menahan diri.
Pada tahun 1582 seorang keponakan Sutawijaya yang tinggal di Pajang, bernama Raden Pabelan dihukum mati karena berani menyusup ke dalam keputrian menemui Ratu Sekar Kedaton (putri bungsu Adiwijaya). Ayah Pabelan yang bernama Tumenggung Mayang dijatuhi hukuman buang karena diduga ikut membantu anaknya.
Ibu Raden Pabelan yang merupakan adik perempuan Sutawijaya meminta bantuan ke MataramSutawijaya pun mengirim utusan untuk merebut Tumenggung Mayang dalam perjalanan pembuangannya ke Semarang.

KEMATIAN

Perbuatan Sutawijaya itu menjadi alasan Hadiwijaya untuk menyerang Mataram. Perang antara kedua pihak pun meletus. Pasukan Pajang bermarkas di Prambanan dengan jumlah lebih banyak, namun menderita kekalahan. Adiwijaya semakin tergoncang mendengar Gunung Merapi tiba-tiba meletus dan laharnya ikut menerjang pasukan Pajangyang berperang dekat gunung tersebut.
Adiwijaya menarik pasukannya mundur. Dalam perjalanan pulang, ia singgah ke makam Sunan Tembayat namun tidak mampu membuka pintu gerbangnya. Hal itu dianggapnya sebagai firasat kalau ajalnya segera tiba.
Adiwijaya melanjutkan perjalanan pulang. Di tengah jalan ia jatuh dari punggung gajah tunggangannya, sehingga harus diusung dengan tandu. Sesampai di Pajang, datang makhluk halus anak buah Sutawijaya bernama Ki Juru Taman memukul dada Adiwijaya, membuat sakitnya bertambah parah.
Adiwijaya berwasiat supaya anak-anak dan menantunya jangan ada yang membenci Sutawijaya, karena perang antara Pajang dan Mataram diyakininya sebagai takdir. Selain itu, Sutawijaya sendiri adalah anak angkat Adiwijaya yang dianggapnya sebagai putra tertua. Pada cerita rakyat dinyatakan bahwa sebenarnya Sutawijaya adalah anak kandung Adiwijaya dengan anak Ki Ageng Sela.
Adiwijaya alias Jaka Tingkir akhirnya meninggal dunia tahun 1582 tersebut. Ia dimakamkan di desa Butuh, yaitu kampung halaman ibu kandungnya.

Sumber : OM SAYA ma SI WIKIPEDIA

divine-music.info
divine-music.info

divine-music.info

Download Artikelnya Di Sini
Password Di Sini
PERANG BUBAT

PERANG BUBAT

Perang Bubat adalah perang yang mengakibatkan tewasnya seluruh rombongan Sunda. Sumber-sumber rujukan tertua mengenai adanya perang ini terutama adalah Serat Pararaton serta Kidung Sundadan Kidung Sundayana yang berasal dari Bali. Perang yang terjadi pada tahun 1279 Saka atau 1357 M pada abad ke-14, yaitu di masa pemerintahan raja Majapahit Hayam Wuruk. Perang terjadi akibat perselisihan antara Mahapatih Gajah Mada dari Majapahit dengan Prabu Maharaja Linggabuana dari Kerajaan Sunda di Pesanggrahan Bubat.

AWAL PERSELISIHAN

Peristiwa Perang Bubat diawali dari niat Prabu Hayam Wuruk yang ingin memperistri putri Dyah Pitaloka Citraresmi dari Negeri Sunda. Konon ketertarikan Hayam Wuruk terhadap putri tersebut karena beredarnya lukisan sang putri di Majapahit; yang dilukis secara diam-diam oleh seorang seniman pada masa itu, bernama Sungging Prabangkara.
Menurut catatan sejarah Pajajaran oleh Saleh Danasasmita serta Naskah Perang Bubat oleh Yoseph Iskandar, niat pernikahan itu adalah untuk mempererat tali persaudaraan yang telah lama putus antara Majapahit dan SundaRaden Wijaya yang menjadi pendiri kerajaan Majapahit dianggap keturunan Sunda dari Dyah Lembu Tal dan suaminya yaituRakeyan Jayadarma, raja kerajaan Sunda. Hal ini juga tercatat dalam Pustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara parwa II sarga 3. Dalam Babad Tanah Jawi, Raden Wijaya disebut pula dengan nama Jaka Susuruh dari Pajajaran. Meskipun demikian, catatan sejarah Pajajaran tersebut dianggap lemah kebenarannya, terutama karena namaDyah Lembu Tal adalah nama laki-laki.
Alasan umum yang dapat diterima adalah Hayam Wuruk memang berniat memperistri Dyah Pitaloka dengan didorong alasan politik, yaitu untuk mengikat persekutuan dengan Negeri Sunda. Atas restu dari keluarga kerajaan Majapahit, Hayam Wuruk mengirimkan surat kehormatan kepada Maharaja Linggabuana untuk melamar Dyah Pitaloka. Upacara pernikahan rencananya akan dilangsungkan di Majapahit. Pihak dewan kerajaan Negeri Sunda sendiri sebenarnya keberatan, terutama Mangkubumi Hyang Bunisora Suradipati. Ini karena menurut adat yang berlaku di Nusantara pada saat itu, tidak lazim pihak pengantin perempuan datang kepada pihak pengantin lelaki. Selain itu ada dugaan bahwa hal tersebut adalah jebakan diplomatik Majapahit yang saat itu sedang melebarkan kekuasaannya, diantaranya dengan cara menguasai Kerajaan Dompu di Nusa Tenggara.
Linggabuana memutuskan untuk tetap berangkat ke Majapahit, karena rasa persaudaraan yang sudah ada dari garis leluhur dua negara tersebut. Linggabuana berangkat bersama rombongan Sunda ke Majapahit dan diterima serta ditempatkan di Pesanggrahan Bubat.

SEBAB PERSELISIHAN

Raja Sunda datang ke Bubat beserta permaisuri dan putri Dyah Pitaloka dengan diiringi sedikit prajurit. Menurut Kidung Sundayana, timbul niat Mahapatih Gajah Mada untuk menguasai Kerajaan Sunda. Gajah Mada ingin memenuhi Sumpah Palapa yang dibuatnya pada masa sebelum Hayam Wuruk naik tahta, sebab dari berbagai kerajaan di Nusantara yang sudah ditaklukkan Majapahit, hanya kerajaan Sunda lah yang belum dikuasai.
Dengan maksud tersebut, Gajah Mada membuat alasan oleh untuk menganggap bahwa kedatangan rombongan Sunda di Pesanggrahan Bubat adalah bentuk penyerahan diri Kerajaan Sunda kepada Majapahit. Gajah Mada mendesak Hayam Wuruk untuk menerima Dyah Pitaloka bukan sebagai pengantin, tetapi sebagai tanda takluk Negeri Sunda dan pengakuan superioritas Majapahit atas Sunda di Nusantara. Hayam Wuruk sendiri disebutkan bimbang atas permasalahan tersebut, mengingat Gajah Mada adalah Mahapatih yang diandalkan Majapahit pada saat itu.
Kemudian terjadi insiden perselisihan antara utusan Linggabuana dengan Gajah Mada. Perselisihan ini diakhiri dengan dimaki-makinya Gajah Mada oleh utusan Negeri Sunda yang terkejut bahwa kedatangan mereka hanya untuk memberikan tanda takluk dan mengakui superioritas Majapahit, bukan karena undangan sebelumnya. Namun Gajah Mada tetap dalam posisi semula.
Belum lagi Hayam Wuruk memberikan putusannya, Gajah Mada sudah mengerahkan pasukannya (Bhayangkara) ke Pesanggrahan Bubat dan mengancam Linggabuana untuk mengakui superioritas Majapahit. Demi mempertahankan kehormatan sebagai ksatria Sunda, Linggabuana menolak tekanan itu. Terjadilah peperangan yang tidak seimbang antara Gajah Mada dengan pasukannya yang berjumlah besar, melawan Linggabuana dengan pasukan pengawal kerajaan (Balamati) yang berjumlah kecil serta para pejabat dan menteri kerajaan yang ikut dalam kunjungan itu. Peristiwa itu berakhir dengan gugurnya Linggabuana, para menteri, pejabat kerajaan beserta segenap keluarga kerajaan Sunda. Raja Sunda beserta segenap pejabat kerajaan Sunda dapat didatangkan di Majapahit dan binasa di lapangan Bubat.
Tradisi menyebutkan sang Putri Dyah Pitaloka dengan hati berduka melakukan bela pati, bunuh diri untuk membela kehormatan bangsa dan negaranya.Tindakan ini mungkin diikuti oleh segenap perempuan-perempuan Sunda yang masih tersisa, baik bangsawan ataupun abdi. Menurut tata perilaku dan nilai-nilai kasta ksatriya, tindakan bunuh diri ritual dilakukan oleh para perempuan kasta tersebut jika kaum laki-lakinya telah gugur. Perbuatan itu diharapkan dapat membela harga diri sekaligus untuk melindungi kesucian mereka, yaitu menghadapi kemungkinan dipermalukan karena pemerkosaan, penganiayaan, atau diperbudak.

HASIL PERSELISIHAN

Tradisi menyebutkan bahwa Hayam Wuruk meratapi kematian Dyah Pitaloka. Hayam Wuruk menyesalkan tindakan ini dan mengirimkan utusan (darmadyaksa) dari Bali - yang saat itu berada di Majapahit untuk menyaksikan pernikahan antara Hayam Wuruk dan Dyah Pitaloka - untuk menyampaikan permohonan maaf kepada Mangkubumi Hyang Bunisora Suradipati yang menjadi pejabat sementara raja Negeri Sunda, serta menyampaikan bahwa semua peristiwa ini akan dimuat dalam Kidung Sunda atau Kidung Sundayana (di Bali dikenal sebagai Geguritan Sunda) agar diambil hikmahnya. Raja Hayam Wuruk kemudian menikahi sepupunya sendiri, Paduka Sori.
Akibat peristiwa Bubat ini, dikatakan dalam catatan tersebut bahwa hubungan Hayam Wuruk dengan Gajah Mada menjadi renggang. Gajah Mada sendiri menghadapi tentangan, kecurigaan, dan kecaman dari pihak pejabat dan bangsawan Majapahit, karena tindakannya dianggap ceroboh dan gegabah. Ia dianggap terlalu berani dan lancang dengan tidak mengindahkan keinginan dan perasaan sang Mahkota, Raja Hayam Wuruk sendiri. Peristiwa yang penuh kemalangan ini pun menandai mulai turunnya karier Gajah Mada, karena kemudian Hayam Wuruk menganugerahinya tanah perdikan di Madakaripura (kini Probolinggo). Meskipun tindakan ini nampak sebagai penganugerahan, tindakan ini dapat ditafsirkan sebagai anjuran halus agar Gajah Mada mulai mempertimbangkan untuk pensiun, karena tanah ini letaknya jauh dari ibu kota Majapahit sehingga Gajah Mada mulai mengundurkan diri dari politik kenegaraan istana Majapahit. Meskipun demikian, menurut Negarakertagama Gajah Mada masih disebutkan nama dan jabatannya, sehingga ditafsirkan Gajah Mada sendiri tetap menjabat Mahapatih sampai akhir hayatnya (1364).
Tragedi ini merusak hubungan kenegaraan antar kedua negara dan terus berlangsung hingga bertahun-tahun kemudian, hubungan Sunda-Majapahit tidak pernah pulih seperti sedia kala. Pangeran Niskalawastu Kancana — adik Putri Pitaloka yang tetap tinggal di istana Kawali dan tidak ikut ke Majapahit mengiringi keluarganya karena saat itu masih terlalu kecil — menjadi satu-satunya keturunan Raja yang masih hidup dan kemudian akan naik takhta menjadi Prabu Niskalawastu Kancana. Kebijakannya antara lain memutuskan hubungan diplomatik dengan Majapahit dan menerapkan isolasi terbatas dalam hubungan kenegaraan antar kedua kerajaan. Akibat peristiwa ini pula, di kalangan kerabat Negeri Sunda diberlakukan peraturan larangan estri ti luaran, yang isinya diantaranya tidak boleh menikah dari luar lingkungan kerabat Sunda, atau sebagian lagi mengatakan tidak boleh menikah dengan pihak Majapahit. Peraturan ini kemudian ditafsirkan lebih luas sebagai larangan bagi orang Sunda untuk menikahi orang Jawa.
Tindakan keberanian dan keperwiraan Raja Sunda dan putri Dyah Pitaloka untuk melakukan tindakan bela pati (berani mati) dihormati dan dimuliakan oleh rakyat Sunda dan dianggap sebagai teladan. Raja Lingga Buana dijuluki "Prabu Wangi" (bahasa Sundaraja yang harum namanya) karena kepahlawanannya membela harga diri negaranya. Keturunannya, raja-raja Sunda kemudian dijuluki Siliwangi yang berasal dari kata Silih Wangi yang berarti pengganti, pewaris atau penerus Prabu Wangi.
Beberapa reaksi tersebut mencerminkan kekecewaan dan kemarahan masyarakat Sunda kepada Majapahit, sebuah sentimen yang kemudian berkembang menjadi semacam rasa persaingan dan permusuhan antara suku Sunda dan Jawa yang dalam beberapa hal masih tersisa hingga kini. Antara lain, tidak seperti kota-kota lain di Indonesia, di kotaBandung, ibu kota Jawa Barat sekaligus pusat budaya Sunda, tidak ditemukan jalan bernama "Gajah Mada" atau "Majapahit". Meskipun Gajah Mada dianggap sebagai tokohpahlawan nasional Indonesia, kebanyakan rakyat Sunda menganggapnya tidak pantas akibat tindakannya yang dianggap tidak terpuji dalam tragedi ini.
Hal yang menarik antara lain, meskipun Bali sering kali dianggap sebagai pewaris kebudayaan Majapahit, masyarakat Bali sepertinya cenderung berpihak kepada kerajaan Sunda dalam hal ini, seperti terbukti dalam naskah Bali Kidung Sunda. Penghormatan dan kekaguman pihak Bali atas tindakan keluarga kerajaan Sunda yang dengan gagah berani menghadapi kematian, sangat mungkin karena kesesuaiannya dengan ajaran Hindu mengenai tata perilaku dan nilai-nilai kehormatan kasta ksatriya, bahwa kematian yang utama dan sempurna bagi seorang ksatriya adalah di ujung pedang di tengah medan laga. Nilai-nilai kepahlawanan dan keberanian ini mendapatkan sandingannya dalam kebudayaan Bali, yakni tradisi puputan, pertempuran hingga mati yang dilakukan kaum prianya, disusul ritual bunuh diri yang dilakukan kaum wanitanya. Mereka memilih mati mulia daripada menyerah, tetap hidup, tetapi menanggung malu, kehinaan dan kekalahan.
divine-music.info
divine-music.info

North.Melanesian
Download Artikelnya Di Sini
Password Di Sini