SEJARAH KERAJAAN TIDUNG KUNO

SEJARAH KERAJAAN TIDUNG KUNO

Kerajaan Tidung atau dikenal pula dengan nama Kerajaan Tarakan (Kalkan/Kalka) adalah kerajaan yang memerintah Suku Tidung di utara Kalimantan Timur, yang berkedudukan di Pulau Tarakan dan berakhir di Salimbatu. Sebelumnya terdapat dua kerajaan di kawasan ini, selain Kerajaan Tidung, terdapat pula Kesultanan Bulungan yang berkedudukan di Tanjung Palas. Berdasarkan silsilah (Genealogy) yang ada bahwa, bahwa di pesisir timur pulau Tarakan yakni, di kawasan binalatung sudah ada Kerajaan Tidung kuno (The Ancient Kingdom of Tidung), kira-kira tahun 1076-1156. Kemudian berpindah ke pesisir barat pulau Tarakan yakni, di kawasan Tanjung Batu, kira-kira pada tahun 1156-1216. Lalu bergeser lagi, tetapi tetap di pesisir barat yakni, ke kawasan sungai bidang kira-kira pada tahun 1216-1394. Setelah itu berpindah lagi, yang relatif jauh dari pulau Tarakan yakni, ke kawasan Pimping bagian barat dan kawasan Tanah Kuning, yakni, sekitar tahun 1394-1557.

SEJARAH 

Riwayat tentang kerajaan maupun pemimpin (Raja) yang pernah memerintah dikalangan suku Tidung terbagi dari beberapa tempat yang sekarang sudah terpisah menjadi beberapa daerah Kabupaten antara lain Kabupaten Bulungan (Salimbatu, Kecamatan Tanjung Palas Tengah), (Malinau Kota, Kabupaten Malinau]]), Sesayap, Kabupaten Tana Tidung, (Sembakung, Kabupaten Nunukan , (Kota Tarakan) dan lain-lain hingga ke daerah Sabah (Malaysia) bagian selatan.

Dari riwayat-riwayat yang terdapat dikalangan suku Tidung tentang kerajaan yang pernah ada dan dapat dikatakan yang paling tua di antara riwayat lainnya yaitu dari Menjelutung di Sungai Sesayap dengan rajanya yang terakhir bernama Benayuk. Berakhirnya zaman kerajaan Menjelutung karena ditimpa malapetaka berupa hujan ribut dan angin topan yang sangat dahsyat sehingga mengakibatkan perkampungan di situ runtuh dan tenggelam ke dalam air (sungai) berikut warganya. Peristiwa tersebut di kalangan suku Tidung disebut Gasab yang kemudian menimbulkan berbagai mitos tentang Benayuk dari Menjelutung.

Dari beberapa sumber didapatkan riwayat tentang masa pemerintahan Benayuk yang berlangsung sekitar 35 musim. Perhitungan musim tersebut adalah berdasarkan hitungan hari bulan (purnama) yang dalam semusim terdapat 12 purnama. Dari itu maka hitungan musim dapat disamakan +kurang lebih dengan tahun Hijriah. Apabila dirangkaikan dengan riwayat tentang beberapa tokoh pemimpin (Raja) yang dapat diketahui lama masa pemerintahan dan keterkaitannya dengan Benayuk, maka diperkirakan tragedi di Menjelutung tersebut terjadi pada sekitaran awal abad XI.

Kelompok-kelompok suku Tidung pada zaman kerajaan Menjelutung belumlah seperti apa yang terdapat sekarang ini, sebagaimana diketahui bahwa dikalangan suku Tidung yang ada di Kalimantan timur sekarang terdapat 4 (empat) kelompok dialek bahasa Tidung, yaitu :
  • Dialek bahas Tidung Malinau
  • Dialek bahasa Tidung Sembakung.
  • Dialek bahas Tidung Sesayap.
  • Dialek bahas Tidung Tarakan yang biasa pula disebut Tidung Tengara yang kebanyakan bermukim di daerah air asin.
Dari adanya beberapa dialek bahasa Tidung yang merupakan kelompok komunitas berikut lingkungan sosial budayanya masing-masing, maka tentulah dari kelompok-kelompok dimaksud memiliki pemimpin masing-masing. Sebagaimana diriwayatkan kemudian bahwa setelah kerajaan Benayuk di Menjelutung runtuh maka anak keturunan beserta warga yang selamat berpindah dan menyebar kemudian membangun pemukiman baru. Salah seorang dari keturunan Benayuk yang bernama Kayam selaku pemimpin dari pemukiman di Linuang Kayam (Kampung si Kayam) yang merupakan cikal bakal dari pemimpin (raja-raja) di Pulau Mandul, Sembakung dan Lumbis.

RAJA DARI KERAJAAN TIDUNG KUNO
Kerajaan Tidung Kuno adalah Suatu Pemerintahan yang dipimpin oleh seorang Raja, dimana pusat pemerintahan selalu berpindah-pindah dengan wilayah yang kecil/kampung.
  • Benayuk dari sungai Sesayap, Menjelutung (Masa Pemerintahan ± 35 Musim)
Berakhirnya zaman kerajaan Menjelutung karena ditimpa malapetaka berupa hujan ribut dan angin topan yang sangat dahsyat sehingga mengakibatkan perkampungan di situ runtuh dan tenggelam ke dalam air (sungai) berikut warganya. Peristiwa tersebut di kalangan suku Tidung disebut Gasab yang kemudian menimbulkan berbagai mitos tentang Benayuk dari Menjelutung.
  • Yamus (Si Amus) (Masa Pemerintahan ± 44 Musim)
Selang 15 (lima belas) musim setelah Menjelutung runtuh seorang keturunan Benayuk yang bernama Yamus (Si Amus) yang bermukim di Liyu Maye mengangkat diri sebagai raja yang kemudian memindahkan pusat pemukiman ke Binalatung (Tarakan). Yamus memerintah selama 44 (empat puluh empat) musim, setelah wafat Yamus digantikan oleh salah seorang cucunya yang bernama Ibugang (Aki Bugang).
  • Ibugang (Aki Bugang)
Ibugang beristrikan Ilawang (Adu Lawang) beranak tiga orang. Dari ketiga anak ini hanya seorang yang tetap tinggal di Binalatung yaitu bernama Itara, yang satu ke Betayau dan yang satu lagi ke Penagar.
  • Itara (Lebih kurang 29 Musim)
Itara memerintah selama 29 (dua puluh sembilan) musim. Setelah wafat Anak keturunan Itara yang bernama Ikurung kemudian meneruskan pemerintahan dan memerintah selama 25 (dua puluh lima) musim
  • Ikurung (Lebih kurang 25 Musim)
Ikurung beristrikan Puteri Kurung yang beranakkan Ikarang yang kemudian menggantikan ayahnya yang telah wafat.
  • Ikarang (Lebih kurang 35 Musim), di Tanjung Batu (Tarakan).
Ikarang memerintah selama 35 (tiga puluh lima) musim di Tanjung Batu (Tarakan).
  • Karangan (Lebih kurang Musim)
Karangan yang bristrikan Puteri Kayam (Puteri dari Linuang Kayam) yang kemudian beranakkan Ibidang.
  • Ibidang (Lebih kurang Musim)
  • Bengawan (Lebih kurang 44 Musim)
Diriwayatkan sebagai seorang raja yang tegas dan bijaksana dan wilayah kekuasaannya di pesisir melebihi batas wilayah pesisir Kabupaten Bulungan sekarang yaitu dari Tanjung Mangkaliat di selatan kemudian ke utara sampai di Kudat (Sabah, Malaysia). Diriwayatkan pula bahwa Raja Bengawan sudah menganut Agama Islam dan memerintah selama 44 (empat puluh empat) musim. Setelah Bengawan wafat ia digantikan oleh puteranya yang bernama Itambu
  • Itambu (Lebih kurang 20 Musim)
  • Aji Beruwing Sakti (Lebih kurang 30 Musim)
  • Aji Surya Sakti (Lebih kurang 30 Musim)
  • Aji Pengiran Kungun (Lebih kurang 25 Musim)
  • Aji nata Djaya (Kurang 20 Musim)
  • Pengiran Tempuad (Lebih kurang 34 Musim)
Pengiran Tempuad kemudian kawin dengan raja perempuan suku Kayan di Sungai Pimping bernama Ilahai.
  • Aji Iram Sakti (Lebih kurang 25 Musim) di Pimping, Bulungan
Aji Iram Sakti mempunyai anak perempuan yang bernama Adu Idung. Setelah Aji Iram Sakti wafat kemudian digantikan oleh kemanakannya yang bernama Aji Baran Sakti yang beristrikan Adu Idung. Dari perkawinan ini lahirlah Datoe Mancang
  • Aji Baran Sakti (Lebih kurang 20 Musim).
  • Datoe Mancang (Lebih kurang 49 Musim)
Diriwayatkan bahwa masa pemerintahan Datoe Mancang adalah yang paling lama yaitu 49 (empat puluh sembilan) musim
  • Abang Lemanak (Lebih kurang 20 Musim), di Baratan, Bulungan
Setelah Abang Lemanak wafat, ia kemudian digantikan oleh adik bungsunya yang bernama Ikenawai (seorang wanita).
  • Ikenawai bergelar Ratu Ulam Sari (Lebih kurang 15 Musim)
Ikenawai bersuamikan Datoe Radja Laut keturunan Radja Suluk bergelar Sultan Abdurrasid.

RAJA DARI DINASTI TENGARA

Dahulu kala kaum suku Tidung yang bermukim di pulau Tarakan, populer juga dengan sebutan kaum Tengara, oleh karena mereka mempunyai pemimpin yang telah melahirkan Dynasty Tengara. Berdasarkan silsilah (Genealogy) yang ada bahwa, bahwa di pesisir timur pulau Tarakan yakni, di kawasan binalatung sudah ada Kerajaan Tidung kuno (The Ancient Kingdom of Tidung), kira-kira tahun 1076-1156. Kemudian berpindah ke pesisir barat pulau Tarakan yakni, di kawasan Tanjung Batu, kira-kira pada tahun 1156-1216. Lalu bergeser lagi, tetapi tetap di pesisir barat yakni, ke kawasan sungai bidang kira-kira pada tahun 1216-1394. Setelah itu berpindah lagi, yang relatif jauh dari pulau Tarakan yakni, ke kawasan Pimping bagian barat dan kawasan Tanah Kuning, yakni, sekitar tahun 1394-1557.

Kerajaan Dari Dynasty Tengara ini pertama kali bertakhta kira-kira mulai pada tahun 1557-1571 berlokasi di kawasan Pamusian wilayah Tarakan Timur.

  • Amiril Rasyd Gelar Datoe Radja Laoet (1557-1571)
  • Amiril Pengiran Dipati I (1571-1613)
  • Amiril Pengiran Singa Laoet (1613-1650)
  • Amiril Pengiran Maharajalila I (1650-1695)
  • Amiril Pengiran Maharajalila II (1695-1731)
  • Amiril Pengiran Dipati II (1731-1765)
  • Amiril Pengiran Maharajadinda (1765-1782)
  • Amiril Pengiran Maharajalila III (1782-1817)
  • Amiril Tadjoeddin (1817-1844)
  • Amiril Pengiran Djamaloel Kiram (1844-1867)
  • Ratoe Intan Doera/Datoe Maoelana (1867-1896), Datoe Jaring gelar Datoe Maoelana adalah putera Sultan Bulungan Muhammad Kaharuddin (II)
  • Datoe Adil (1896-1916)
 Sekian dan terima kasih 
 referensi : Kasih tau gak yaa...??



kunjungi terus
JEKA WE-LIS

northmelanesian at Blitar Cyber E-xplore

Download Artikelnya Di Sini
Password Di Sini
SEKILAS DIPONEGORO DAN PERJUANGANNYA

SEKILAS DIPONEGORO DAN PERJUANGANNYA

ASAL USUL DIPONEGORO

   Dipanegara/Diponegoro adalah putra sulung Hamengkubuwono III, seorang raja Mataram di Yogyakarta. Lahir pada tanggal 11 November 1785 di Yogyakarta dengan nama Mustahar dari seorang selir bernama R.A. Mangkarawati, yaitu seorang garwa ampeyan (istri non permaisuri) yang berasal dari Pacitan. Pangeran Dipanegara bernama kecil Raden Mas Antawirya .

   Menyadari kedudukannya sebagai putra seorang selir, Dipanegara menolak keinginan ayahnya, Sultan Hamengkubuwono III, untuk mengangkatnya menjadi raja. Ia menolak mengingat ibunya bukanlah permaisuri. Dipanegara setidaknya menikah dengan 8 wanita dalam hidupnya, yaitu:

  • B.R.A. Retno Madubrongto puteri kedua Kyai Gedhe Dhadhapan;
  • R.A. Supadmi yang kemudian diberi nama R.A. Retnakusuma, putri Raden Tumenggung Natawijaya III, Bupati Panolan, Jipang;
  • R.A. Retnodewati seorang putri Kyai di wilayah Selatan Jogjakarta;
  • R.Ay. Citrowati, puteri Raden Tumenggung Ronggo Parwirosentiko dengan salah satu isteri selir;
  • R.A. Maduretno, putri Raden Rangga Prawiradirjo III dengan Ratu Maduretno (putri HB II), jadi R.A Maduretno saudara seayah dengan Sentot Prawirodirjo, tetapi lain ibu;
  • R.Ay. Ratnaningsih putri Raden Tumenggung Sumoprawiro, bupati Jipang Kepadhangan;
  • R.A. Retnakumala putri Kyahi Guru Kasongan;
  • R.Ay. Ratnaningrum putri Pangeran Penengah atau Dipawiyana II.
   Dipanegara lebih tertarik pada kehidupan keagamaan dan merakyat sehingga ia lebih suka tinggal di Tegalrejo tempat tinggal eyang buyut putrinya, permaisuri dari HB I Ratu Ageng Tegalrejo daripada di keraton. Pemberontakannya terhadap keraton dimulai sejak kepemimpinan Hamengkubuwana V (1822) dimana Dipanegara menjadi salah satu anggota perwalian yang mendampingi Hamengkubuwana V yang baru berusia 3 tahun, sedangkan pemerintahan sehari-hari dipegang oleh Patih Danureja bersama Residen Belanda. Cara perwalian seperti itu tidak disetujui Dipanegara.

   Pangeran Dipanegara , juga sering dieja Diponegoro (lahir di Yogyakarta, 11 November 1785 – meninggal di Makassar, Sulawesi Selatan, 8 Januari 1855 pada umur 69 tahun) adalah salah seorang pahlawan nasional Republik Indonesia. Pangeran Diponegoro terkenal karena memimpin Perang Diponegoro/Perang Jawa (1825-1830) melawan pemerintah Hindia-Belanda. Perang tersebut tercatat sebagai perang dengan korban paling besar dalam sejarah Indonesia.

KISAH PERJUANGAN

   Perang Diponegoro berawal ketika pihak Belanda memasang patok di tanah milik Dipanegara di desa Tegalrejo. Saat itu, beliau memang sudah muak dengan kelakuan Belanda yang tidak menghargai adat istiadat setempat dan sangat mengeksploitasi rakyat dengan pembebanan pajak.

   Sikap Dipanegara yang menentang Belanda secara terbuka, mendapat simpati dan dukungan rakyat. Atas saran Pangeran Mangkubumi, pamannya, Dipanegara menyingkir dari Tegalrejo, dan membuat markas di sebuah goa yang bernama Goa Selarong. Saat itu, Dipanegara menyatakan bahwa perlawanannya adalah perang sabil, perlawanan menghadapi kaum kafir. Semangat "perang sabil" yang dikobarkan Dipanegara membawa pengaruh luas hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu. Salah seorang tokoh agama di Surakarta, Kyai Maja, ikut bergabung dengan pasukan Dipanegara di Goa Selarong.Perjuangan Pangeran Dipanegara ini didukung oleh S.I.S.K.S. Pakubuwono VI dan Raden Tumenggung Prawirodigdaya Bupati Gagatan.

   Selama perang ini kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara dan 20 juta gulden.
Berbagai cara terus diupayakan Belanda untuk menangkap Dipanegara. Bahkan sayembara pun dipergunakan. Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa saja yang bisa menangkap Dipanegara. Sampai akhirnya Dipanegara ditangkap pada 1830.

PEPERANGAN

   Pertempuran terbuka dengan pengerahan pasukan-pasukan infantri, kavaleri dan artileri —yang sejak perang Napoleon menjadi senjata andalan dalam pertempuran frontal— di kedua belah pihak berlangsung dengan sengit. Front pertempuran terjadi di puluhan kota dan desa di seluruh Jawa. Pertempuran berlangsung sedemikian sengitnya sehingga bila suatu wilayah dapat dikuasai pasukan Belanda pada siang hari, maka malam harinya wilayah itu sudah direbut kembali oleh pasukan pribumi; begitu pula sebaliknya. Jalur-jalur logistik dibangun dari satu wilayah ke wilayah lain untuk menyokong keperluan perang. Berpuluh kilang mesiu dibangun di hutan-hutan dan dasar jurang. Produksi mesiu dan peluru berlangsung terus sementara peperangan berkencamuk. Para telik sandi dan kurir bekerja keras mencari dan menyampaikan informasi yang diperlukan untuk menyusun stategi perang. Informasi mengenai kekuatan musuh, jarak tempuh dan waktu, kondisi medan, curah hujan menjadi berita utama; karena taktik dan strategi yang jitu hanya dapat dibangun melalui penguasaan informasi.

   Serangan-serangan besar rakyat pribumi selalu dilaksanakan pada bulan-bulan penghujan; para senopati menyadari sekali untuk bekerjasama dengan alam sebagai “senjata” tak terkalahkan. Bila musim penghujan tiba, gubernur Belanda akan melakukan usaha usaha untuk gencatan senjata dan berunding, karena hujan tropis yang deras membuat gerakan pasukan mereka terhambat. Penyakit malaria, disentri, dan sebagainya merupakan “musuh yang tak tampak” melemahkan moral dan kondisi fisik bahkan merenggut nyawa pasukan mereka. Ketika gencatan senjata terjadi, Belanda akan mengkonsolidasikan pasukan dan menyebarkan mata-mata dan provokator mereka bergerak di desa dan kota; menghasut, memecah belah dan bahkan menekan anggota keluarga para pengeran dan pemimpin perjuangan rakyat yang berjuang dibawah komando pangeran Dipanegara. Namun pejuang pribumi tersebut tidak gentar dan tetap berjuang melawan Belanda.

   Pada puncak peperangan, Belanda mengerahkan lebih dari 23.000 orang serdadu; suatu hal yang belum pernah terjadi ketika itu dimana suatu wilayah yang tidak terlalu luas seperti Jawa Tengah dan sebagian Jawa timur dijaga oleh puluhan ribu serdadu. Dari sudut kemiliteran, ini adalah perang pertama yang melibatkan semua metode yang dikenal dalam sebuah perang modern. Baik metode perang terbuka (open warfare), maupun metoda perang gerilya (geurilia warfare) yang dilaksanakan melalui taktik hit and run dan penghadangan. ini bukan sebuah tribal war atau perang suku. Tapi suatu perang modern yang memanfaatkan berbagai siasat yang saat itu belum pernah dipraktekkan. perang ini juga dilengkapi dengan taktik perang urat syaraf (psy-war) melalui insinuasi dan tekanan-tekanan serta provokasi oleh pihak Belanda terhadap mereka yang terlibat langsung dalam pertempuran; dan kegiatan telik sandi (spionase) dimana kedua belah pihak saling memata-matai dan mencari informasi mengenai kekuatan dan kelemahan lawannya.

   Pada tahun 1827, Belanda melakukan penyerangan terhadap Dipanegara dengan menggunakan sistem benteng sehingga Pasukan Dipanegara terjepit. Pada tahun 1829, Kyai Maja, pemimpin spiritual pemberontakan, ditangkap. Menyusul kemudian Pangeran Mangkubumi dan panglima utamanya Sentot Alibasya menyerah kepada Belanda. Akhirnya pada tanggal 28 Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan Dipanegara di Magelang. Di sana, Pangeran Dipanegara menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan. Maka, Pangeran Dipanegara ditangkap dan diasingkan ke Manado, kemudian dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855.

   Perang melawan penjajah lalu dilanjutkan oleh para putera Pangeran Diponegoro. Pangeran Alip atau Ki Sodewo atau bagus Singlon, Diponingrat, diponegoro Anom, Pangeran Joned terus melakukan perlawanan walaupun harus berakhir tragis. Empat Putera Pangeran Diponegoro dibuang ke Ambon, sementara Pangeran Joned terbunuh dalam peperangan, begitu juga Ki Sodewo.

   Berakhirnya Perang Jawa yang merupakan akhir perlawanan bangsawan Jawa. Perang Jawa ini banyak memakan korban dipihak pemerintah Hindia sebanyak 8.000 serdadu berkebangsaan Eropa, 7.000 pribumi, dan 200.000 orang Jawa. Sehingga setelah perang ini jumlah penduduk Yogyakarta menyusut separuhnya. Mengingat bagi sebagian orang Kraton Yogyakarta Dipanegara dianggap pemberontak, sehingga konon anak cucunya tidak diperbolehkan lagi masuk ke Kraton, sampai kemudian Sri Sultan HB IX memberi amnesti bagi keturunan Dipanegara, dengan mempertimbangkan semangat kebangsaan yang dipunyai Dipanegara kala itu. Kini anak cucu Dipanegara dapat bebas masuk Kraton, terutama untuk mengurus Silsilah bagi mereka, tanpa rasa takut akan diusir.

PENANGKAPAN DAN PENGASINGAN

  • 20 Februari 1830 Pangeran Dipanegara dan Kolonel Cleerens bertemu di Remo Kamal, Bagelen (sekarang masuk wilayah Purworejo). Cleerens mengusulkan agar Kanjeng Pangeran dan pengikutnya berdiam dulu di Menoreh sambil menunggu kedatangan Letnan Gubernur Jenderal Markus de Kock dari Batavia.
  • 28 Maret 1830 Dipanegara menemui Jenderal de Kock di Magelang. De Kock memaksa mengadakan perundingan dan mendesak Dipanegara agar menghentikan perang. Permintaan itu ditolak Dipanegara. Tetapi Belanda telah menyiapkan penyergapan dengan teliti. Hari itu juga Dipanegara ditangkap dan diasingkan ke Ungaran, kemudian dibawa ke Gedung Karesidenan Semarang, dan langsung ke Batavia menggunakan kapal Pollux pada 5 April.
  • 11 April 1830 sampai di Batavia dan ditawan di Stadhuis (sekarang gedung Museum Fatahillah). Sambil menunggu keputusan penyelesaian dari Gubernur Jenderal Van den Bosch.
  • 30 April 1830 keputusan pun keluar. Pangeran Dipanegara, Raden Ayu Retnaningsih, Tumenggung Dipasana dan istri, serta para pengikut lainnya seperti Mertaleksana, Banteng Wereng, dan Nyai Sotaruna akan dibuang ke Manado.
  • 3 Mei 1830 Dipanegara dan rombongan diberangkatkan dengan kapal Pollux ke Manado dan ditawan di benteng Amsterdam.
  • 1834 dipindahkan ke benteng Rotterdam di Makassar, Sulawesi Selatan.
  • 8 Januari 1855 Dipanegara wafat dan dimakamkan di Makassar, tepatnya di Jalan Diponegoro, Kelurahan Melayu, Kecamatan Wajo, sekitar empat kilometer sebelah utara pusat Kota Makassar.

   Dalam perjuangannya, Pangeran Dipanegara dibantu oleh puteranya bernama Bagus Singlon atau Ki Sodewo. Ki Sodewo melakukan peperangan di wilayah Kulon Progo dan Bagelen.

   Bagus Singlon atau Ki Sodewo adalah Putera Pangeran Dipanegara dengan Raden Ayu Citrawati . Nama Raden Mas Singlon atau Bagus Singlon atau Ki Sodewo sendiri telah masuk dalam daftar silsilah yang dikeluarkan oleh Tepas Darah Dalem Keraton Yogyakarta.

   Perjuangan Ki Sadewa untuk mendampingi ayahnya dilandasi rasa dendam pada kematian eyangnya (Ronggo) dan ibundanya ketika Raden Ronggo dipaksa menyerah karena memberontak kepada Belanda. Melalui tangan-tangan pangeran Mataram yang sudah dikendalikan oleh Patih Danurejo, maka Raden Ronggo dapat ditaklukkan. Ki Sodewo kecil dan Sentot bersama keluarga bupati Madiun lalu diserahkan ke Keraton sebagai barang bukti suksesnya penyerbuan.

   Ki Sodewo yang masih bayi lalu diambil oleh Pangeran Dipanegara lalu dititipkan pada sahabatnya bernama Ki Tembi. Ki Tembi lalu membawanya pergi dan selalu berpindah-pindah tempat agar keberadaannya tidak tercium oleh Belanda. Belanda sendiri pada saat itu sangat membenci anak turun Raden Ronggo yang sejak dulu terkenal sebagai penentang Belanda. Atas kehendak Pangeran Dipanegara, bayi tersebut diberi nama Singlon yang artinya penyamaran.

   Keturunan Ki Sodewo saat ini banyak tinggal di bekas kantung-kantung perjuangan Ki Sodewo pada saat itu dengan bermacam macam profesi. Dengan restu para sesepuh dan dimotori oleh keturunan ke-7 Pangeran Diponegoro yang bernama Raden Roni Sodewo, Keturunan Ki Sodewo membentuk sebuah paguyuban dengan nama Paguyuban Trah Sodewo. Sedangkan untuk mengumpulkan Keluarga Pangeran Diponegoro, Roni Sodewo bersama Hasan Budianto membuat facebook grup bernama Klan Diponegoro. Upaya ini berhasil mengumpulkan silsilah anak cucu Pangeran Diponegoro dari 8 putera Pangeran Diponegoro dari seluruh dunia. Setidaknya Pangeran Diponegoro mempunyai 12 putra dan 10 orang putri, yang keturunannya semuanya kini hidup tersebar di seluruh Dunia, termasuk Jawa, Sulawesi, dan Maluku bahkan di Australi, Serbia, Jerman, Belanda dan Arab Saudi.

PENGHARGAAN

   Sebagai penghargaan atas jasa Diponegoro dalam melawan penjajahan. Di beberapa kota besar Indonesia terdapat jalan Diponegoro. Kota Semarang sendiri juga memberikan apresiasi agar nama Pangeran Diponegoro akan senantiasa hidup. Nama nama tempat yang menggunakan nama beliau antara lain Stadion Diponegoro, Jalan diponegoro, Universitas Diponegoro, Kodam IV Diponegoro. Juga ada beberapa patung yang dibuat, patung Diponegoro di Undip Pleburan, patung Diponegoro di Kodam IV Dipanegara serta di pintu masuk Undip Tembalang.


        SEMOGA KITA GENERASI YANG LEBIH DAPAT MENGHORMATI JASA PARA PAHLAWAN KITA DAN DAPAT BERBUAT LEBIH DARIPADA MEREKA ... AAMIIIN ..... 



divine-music.info
divine-music.info

north.melanesian
Download Artikelnya Di Sini
Password Di Sini