Kesultanan Sambas adalah kesultanan yang terletak di wilayah
pesisir utara Propinsi Kalimantan Barat atau wilayah barat laut Pulau
Borneo (Kalimantan)dengan pusat pemerintahannya adalah di Kota Sambas
sekarang. Kesultanan Sambas adalah penerus dari kerajaan-kerajaan
Sambas sebelumnya. Kerajaan yang bernama Sambas di Pulau Borneo atau
Kalimantan ini telah ada paling tidak sebelum abad ke-14 M sebagaimana
yang tercantum dalam Kitab Negara Kertagama karya Prapanca. Pada masa
itu Rajanya mempunyai gelaran "Nek" yaitu salah satunya bernama Nek
Riuh. Setelah masa Nek Riuh, pada sekitar abad ke-15 M muncul
pemerintahan Raja yang bernama
Tan Unggal yang terkenal sangat kejam.
Karena kekejamannya ini Raja Tan Unggal kemudian dikudeta oleh rakyat
dan setelah itu selama puluhan tahun rakyat di wilayah Sungai Sambas ini
tidak mau mengangkat Raja lagi. Pada masa kekosongan pemerintahan di
wilayah Sungai Sambas inilah kemudian pada awal abad ke-16 M (1530 M)
datang serombongan besar Bangsawan Jawa (sekitar lebih dari 500 orang)
yang diperkirakan adalah Bangsawan Majapahit yang masih hindu melarikan
diri dari Pulau Jawa (Jawa bagian timur) karena ditumpas oleh pasukan
Kesultanan Demak dibawah Sultan Demak ke-3 yaitu Sultan Trenggono.
Pada saat itu di pesisir dan tengah wilayah Sungai Sambas ini telah
sejak ratusan tahun didiami oleh orang-orang Melayu yang telah mengalami
asimilasi dengan orang-orang Dayak pesisir dimana karena saat itu
wilayah ini sedang tidak ber-Raja (sepeninggal Raja Tan Unggal) maka
kedatangan rombongan Bangsawan Majapahit ini berjalan mulus tanpa
menimbulkan konflik. Rombongan Bangsawan Majapahit ini kemudian menetap
di hulu Sungai Sambas yaitu di suatu tempat yang sekarang disebut dengan
nama "Kota Lama". Setelah sekitar lebih dari 10 tahun menetap di "Kota
Lama" dan melihat keadaan wilayah Sungai Sambas ini aman dan kondusif
maka kemudian para Bangsawan Majapahit ini mendirikan sebuah Panembahan /
Kerajaan hindu yang kemudian disebut dengan nama "Panembahan Sambas".
Raja Panembahan Sambas ini bergelar "Ratu" (Raja Laki-laki)dimana Raja
yang pertama tidak diketahui namanya yang kemudian setelah wafat
digantikan oleh anaknya yang bergelar Ratu Timbang Paseban, setelah Ratu
Timbang Paseban wafat lalu digantikan oleh Adindanya yang bergelar Ratu
Sapudak. Pada masa Ratu Sapudak inilah untuk pertama kalinya diadakan
kerjasama perdagangan antara Panembahan Sambas ini dengan VOC yaitu pada tahun 1609 M.
Pada masa Ratu Sapudak inilah rombongan Sultan Tengah (Sultan Sarawak
ke-1) bin Sultan Muhammad Hasan (Sultan Brunei ke-9) datang dari
Kesultanan Sukadana ke wilayah Sungai Sambas dan kemudian menetap di
wilayah Sungai Sambas ini (daerah Kembayat Sri Negara. Anak laki-laki
sulung Sultan Tangah yang bernama Sulaiman kemudian dinikahkan dengan
anak bungsu Ratu Sapudak yang bernama Mas Ayu Bungsu sehingga nama
Sulaiman kemudian berubah menjadi Raden Sulaiman. Raden Sulaiman inilah
yang kemudian setelah keruntuhan Panembahan Sambas di Kota Lama
mendirikan Kerajaan baru yaitu Kesultanan Sambas dengan Raden Sulaiman
menjadi Sultan Sambas pertama bergelar Sultan Muhammad Shafiuddin I
yaitu pada tahun 1671 M
Sejarah Berdirinya Kerajaan Sambas
Sebelum berdirinya Kesultanan Sambas pada tahun 1671 M, di wilayah
Sungai Sambas ini sebelumnya telah berdiri kerajaan-kerajaan yang
menguasai wilayah Sungai Sambas dan sekitarnya. Berdasarkan data-data
yang ada, urutan kerajaan yang pernah berdiri di wilayah Sungai Sambas
dan sekitarnya sampai dengan terbentuknya Negara Republik Indonesia
adalah :
- Kerajaan Wijaya Pura sekitar abad 7 M - 9 M.
- Kerajaan Nek Riuh sekitar abad 13 M - 14 M.
- Kerajaan Tan Unggal sekitar abad 15 M.
- Panembahan Sambas pada abad 16 M.
- Kesultanan Sambas pada abad 17 M - 20 M.
Secara otentik Kerajaan Sambas telah eksis sejak abad ke 13 M yaitu sebagaimana yang tercantum dalam kitab Negarakertagama karya Prapanca pada masa Majapahit
(1365 M). Kemungkinan besar bahwa Kerajaan Sambas saat itu rajanya
bernama Nek Riuh. Walaupun secara otentik Kerajaan Sambas tercatat sejak
abad ke-13 M, namun demikian berdasarkan benda-benda arkeologis (berupa
gerabah, patung dari masa Hindu)yang
ditemukan selama ini di wilayah sekitar Sungai Sambas menunjukkan bahwa
pada sekitar abad ke-6 M atau 7 M di wilayah ini diyakini telah berdiri
sebuah kerajaan. Hal ini ditambah lagi dengan melihat posisi wilayah
Sambas yang berhampiran dengan Selat Malaka yang merupakan lalu lintas
dunia, sehingga diyakini bahwa pada sekitar abad ke-5 hingga 7 M di
wilayah Sungai Sambas ini telah berdiri Kerajaan Sambas yaitu lebih
kurang bersamaan dengan masa berdirinya Kerajaan Batu Laras di hulu
Sungai Keriau yaitu sebelum berdirinya Kerajaan Tanjungpura.
Kedatangan rombongan bangsawan Majapahit di Sambas dapat berjalan
mulus tanpa menimbulkan konflik bukanlah hanya karena wilayah Sambas
pada waktu itu tidak be-raja (tidak mempunyai penguasa) setelah era Raja
Tan Unggal, tapi lebih disebabkan karena penduduk Sambas pada waktu itu
mempunyai kepercayaan yang sama dengan rombongan Majapahit tersebut,
yakni Hindu. Hindu sudah berkembang di Nusantara sejak berdirinya
Kerajaan Kutai Martadipura (era pemerintahan Mulawarman) sampai kepada
Kerajaan Kutai Kartanegara. Wajar kalau pengaruhnya sampai ke wilatah
Sambas. Jadi pada waktu itu belum ada istilah “melayu atau dayak”.
Istilah atau penyebutan itu ada setelah masuknya Islam. Penduduk yang
kemudian masuk Islam dinamakan "Melayu" dan penduduk yang masih menganut
Hindu (Kaharingan) dinamakan "Dayak" (Dayak artinya "orang hulu", yakni
orang yang tinggal di hulu sungai atau pedalaman). Disebut orang
pedalaman atau hulu bukan karena mereka terdesak oleh masuknya Islam
tapi karena memang mereka belum tersentuh oleh syiar Islam, disebabkan
mereka tinggal jauh di pedalaman. Pada waktu itu Islam umumnya memang
disyiarkan oleh pedagang-pedagan dari Gujarat, Hadramaut dan dari
Tiongkok (armada Laksamana Cheng Ho). Pedagang-pedagang dan penjelajah
lautan ini hanya singgah dan berdagang di daerah pesisir.
Rombongan dari pulau Jawa (Majapahit) ini pertama kali mendarat
disebuah tempat yang dinamakan Pangkalan Jambu, sebuah tempat yang
berada di Kecamatan Jawai, Kabupaten Sambas yang sekarang. Itulah
sebabnya daerah tempat mendaratnya rombongan bangsawan dari Jawa Dwipa
ini dinamakan Jawai sampai sekarang.
Sedangkan sejarah berdirinya Kesultanan Sambas bermula di Kesultanan
Brunei yaitu ketika Sultan Brunei ke-9 --Sultan Muhammad Hasan-- wafat
pada tahun 1598 M, maka kemudian putra Baginda yang sulung
menggantikannya dengan gelar Sultan Abdul Jalilul Akbar. Ketika Sultan
Abdul Jalilul Akbar telah memerintah puluhan tahun kemudian muncul
saingan untuk menggantikan dari Adinda Sultan Abdul Jalilul Akbar yang
bernama Pangeran Muda Tengah. Untuk menghindari terjadinya perebutan
kekuasaan maka Baginda Sultan Abdul Jalilul Akbar membuat kebijaksanaan
untuk memberikan sebagai wilayah kekuasaan Kesultanan Brunei yaitu
daerah Sarawak kepada Pangeran Muda Tengah. Maka kemudian pada tahun
1629 M, Pangeran Muda Tengah menjadi Sultan di Sarawak sebagai Sultan
Sarawak pertama dengan gelar Sultan Ibrahim Ali Omar Shah yang kemudian
Baginda lebih populer di kenal dengan nama Sultan tengah atau Raja
Tengah yaitu merujuk kepada gelaran Baginda sebelum menjadi Sultan yaitu
Pangeran Muda Tengah.
Setelah sekitar 2 tahun memerintah di Kesultanan Sarawak yang
berpusat di Sungai Bedil (Kota Kuching sekarang ini), Baginda Sultan
Tengah kemudian melakukan kunjungan ke Kesultanan Johor. Saat itu di
Kesultanan Johor yang menjadi Sultan adalah Sultan Abdul Jalil (Raja
Bujang)dimana Permaisuri Sultan Abdul Jalil ini adalah Mak Muda dari
Sultan Tengah. Sewaktu di Kesultanan Johor ini terjadi kesalahpahaman
antara Baginda Sultan Tengah dengan Sultan Abdul Jalil sehingga kemudian
membuat Baginda Sultan Tengah dan rombongannya harus pulang dengan
tergesa-gesa ke Sarawak sedangkan saat itu sebenarnya bukan angin yang
baik untuk melakukan pelayaran. Oleh karena itulah maka ketika sampai di
laut lewat dari Selat Malaka, kapal rombongan Baginda Sultan Tengah ini
dihantam badai yang sangat dahsyat. Setelah terombang-ambing di laut
satu hari satu malam, setalah badai mereda, kapal Baginda Sultan Tengah
tenyata telah terdampar di pantai yang adalah wilayah kekuasaan
Kesultanan Sukadana. Pada saat itu yang menjadi Sultan di Kesultanan
Sukadana adalah Sultan Muhammad Shafiuddin (Digiri Mustika) yang baru
saja kedatangan Tamu Besar yaitu utusan Sultan Makkah (Amir Makkah)
yaitu Shekh Shamsuddin yang mengesahkan gelaran Sultan Muhammad
Shafiuddin ini. Sebelum ke Kesultanan Sukadana, Shekh Shamsuddin telah
berkunjung pula ke Kesultanan Banten yang juga mengesahkan gelaran
Sultan Banten pada tahun yang sama.
Baginda Sultan Tengah dan rombongannya kemudian disambut dengan baik
oleh Baginda Sultan Muhammad Shafiuddin (Digiri Mustika. Setelah tinggal
beberapa lama di Kesultanan Sukadana ini, setelah melihat perawakan dan
kepribadian Baginda Sultan Tengah yang baik, maka kemudian Sultan
Muhammad Shafiuddin mencoba menjodohkan Adindanya yang dikenal cantik
jelita yang bernama Putri Surya Kesuma dengan Baginda Sultan Tengah.
Sultan Tengah pun kemudian menerima perjodohan ini sehingga kemudian
menikahlah Baginda Sultan Tengah dengan Putri Surya Kesuma dengan adat
kebesaran Kerajaan Kesultanan Sukadana. Setelah menikah dengan Putri
Surya Kesuma ini Baginda Sultan Tengah kemudian memutuskan untuk menetap
sementara di Kesultanan Sukadana sambil menunggu situasi yang aman di
sekitar Selat Malaka menyusul adanya ekspansi besar-besaran dari
Kesultanan Johor dibawah pimpinan Sultan Abdul Jalil (Raja Bujang) di
wilayah itu. Dari pernikahannya dengan Putri Surya Kesuma ini Baginda
Sultan Tengah kemudian memperoleh seorang anak laki-laki yang kemudian
diberi nama Sulaiman.
Setelah sekitar 7 tahun menetap di Kesultanan Sukadana dan situasi di
sekitar Selat Malaka masih belum aman dari ekspansi Sultan Abdul Jalil
Johor (Raja Bujang) itu, maka Baginda Sultan Tengah kemudian memutuskan
untuk berpindah dari Kesultanan Sukadana untuk menetap di tempat baru
yaitu wilayah Sungai Sambas karena sebelumnya Baginda Sultan Tengah
telah mendengar sewaktu di Sukadana bahwa di sekitar Sungai Sambas
terdapat sebuah Kerajaan yang berhubungan baik dengan Kesultanan
Sukadana yaitu Panembahan Sambas.
Maka kemudian pada tahun 1638 M berangkatlah rombongan Baginda Sultan
Tengah beserta keluarga dan orang-orangnya dengan menggunakan 40 perahu
yang lengkap dengan alat senjata dari Kesultanan Sukadana menuju
Panembahan Sambas di Sungai Sambas. Setelah sampai di Sungai Sambas,
rombongan Baginda Sultan Tengah ini kemudian disambut dengan baik oleh
Raja Panembahan Sambas saat itu yaitu Ratu Sapudak. Rombongan Baginda
Sultan Tengah ini kemudian dipersilahkan oleh Ratu Sapudak untuk menetap
di sebuah tempat tak jauh dari pusat pemerintahan Panembahan Sambas.
Tidak lama setelah Baginda Sultan Tengah beserta keluarga dan
orang-orangnya tinggal di Panembahan Sambas, Ratu Sapudak kemudian
meninggal secara mendadak. Sebagai penggantinya maka kemudian
diangkatlah keponakan Ratu Sapudak yang bernama Raden Kencono (Anak Ratu
Timbang Paseban). Raden Kencono ini adalah juga menantu dari Ratu
Sapudak karena mengawini anak Ratu Sapudak yang perempuan bernama Mas
Ayu Anom. Setelah menaiki tahta Panembahan Sambas, Raden Kencono ini
kemudian bergelar Ratu Anom Kesumayuda.
Setelah sekitar 10 tahun Baginda Sultan Tengah menetap di wilayah
Panembahan Sambas dan anaknya yang sulung yaitu Sulaiman sudah beranjak
dewasa maka kemudian Sulaiman dijodohkan dan kemudian menikah dengan
anak perempuan Almarhum Ratu Sapudak yang bungsu bernama Mas Ayu Bungsu.
Karena pernikahan inilah maka Sulaiman kemudian dianugerahkan gelaran
Raden oleh Panembahan Sambas sehingga nama menjadi Raden Sulaiman dan
selanjuntnya tinggal di lingkungan Keraton Panembahan Sambas bersama Mas
Ayu Bungsu. Dari pernikahannya dengan Mas Ayu Bungsu ini, Raden
Sulaiman memperoleh seorang anak pertama yaitu seorang anak laki-laki
yang kemudian diberi nama Raden Bima. Raden Sulaiman kemudian diangkat
oleh Ratu Anom Kesumayuda menjadi salah satu Menteri Besar Panembahan
Sambas bersama dengan Adinda Ratu Anom Kesumayuda yang bernama Raden
Aryo Mangkurat.
Tidak lama setelah kelahiran cucu Baginda Sultan Tengah yaitu Raden
Bima, dan setelah melihat situasi yang sudah mulai aman di sekitar Selat
Malaka apalagi setelah melihat anaknya yang sulung yaitu Raden Sulaiman
telah menikah dan mandiri bahkan telah menjadi Menteri Besar Panembahan
Sambas, maka Baginda Sultan Tengah kemudian memutuskan sudah saatnya
untuk kembali ke Negerinya yang telah begitu lama di tinggalkannya yaitu
Kesultanan Sarawak. Maka kemudian berangkatlah Baginda Sultan Tengah
beserta istrinya yaitu Putri Surya Kesuma dan keempat anaknya yang lain
(Adik-adik dari Raden Sulaiman) yaitu Badaruddin, Abdul Wahab, Rasmi
Putri dan Ratna Dewi beserta orang-orangnya yaitu pada sekitar tahun
1652 M.
Ditengah perjalanan ketika telah hampir sampai ke Sarawak yaitu
disuatu tempat yang bernama Batu Buaya, secara tiba-tiba Baginda Sultan
Tengah ditikam dari belakang oleh pengawalnya sendri, pengawal itu
kemudian dibalas tikam oleh Baginda Sultan Tengah hingga pengawal itu
tewas. Namun demikian luka yang di tubuh Sultan Tengah terlalu parah
sehingga kemudian Baginda Sultan Tengah bin Sultan Muhammad Hasan pun
wafat. Jenazah Baginda Sultan Tengah kemudian setelah di sholatkan
kemudian dengan adat kebesaran Kesultanan Sarawak oleh Menteri-Menteri
Besar Kesultanan Sarawak, dimakamkan di lereng Gunung Sentubong. Adapun
Putri Surya Kesuma setelah kewafatan suaminya yaitu Almarhum Sultan
Tengah, kemudian memutuskan untuk kembali ke Kesultanan Sukadana yaitu
tempat dimana ia berasal bersama dengan keempat anaknya.
Di Panembahan Sambas, sepeninggal Ayahnya yaitu Baginda Sultan
Tengah, Raden Sulaiman mendapat tentangan yang keras dari Adik Ratu Anom
Kesumayuda yang juga adalah Menteri Besar Panembahan Sambas yaitu Raden
Aryo Mangkurat. Tentangan dari Raden Aryo Mangkurat yang sangat fanatik
hindu ini karena iri dan dengki dengan Raden Sulaiman yang semakin kuat
mendapat simpati dari para pembesar Panembahan Sambas saat karena baik
prilakunya dan bagus kepemimpinannya dalam memagang jabatan Menteri
Besar disamping itu Raden Sulaiman ini juga sangat giat menyebarkan
Syiar Islam di lingkungan Keraton Panembahan Sambas yang mayoritas masih
menganut hindu itu sehingga dari hari ke hari semakin banyak petinggi
dan penduduk Panembahan Sambas yang masuk Islam sehingga Raden Sulaiman
ini semakin dibenci oleh Raden Aryo Mangkurat.
Tekanan terhadap Raden Sulaiman oleh Raden Aryo Mangkurat ini
kemudian semakin kuat hingga sampai pada mengancam keselamatan Raden
Sulaiman beserta keluarganya sedangkan Ratu Anom Kesumayuda tampaknya
tidak mampu berbuat dengan ulah adiknya itu. Maka Raden Sulaiman
kemudian memtuskan untuk hijrah dari pusat Panembahan Sambas dan mencari
tempat menetap yang baru. Maka kemudian pada sekitar tahun 1655 M,
berangkatlah Raden Sulaiman beserta istri dan anaknya serta
orang-orangnya yaitu sebagian orang-orang Brunei yang ditinggalkan
Ayahnya (Sultan Tengah) ketika akan pulang ke Sarawak dan sebagian
petinggi dan penduduk Panembahan Sambas yang setia dan telah masuk
Islam.
Dari pusat Panembahan Sambas ini (sekarang disebut dengan nama Kota
Lama), Raden Sulaiman dan rombongannya sempat singgah selama setahun di
tempat yang bernama Kota Bangun dan kemudian memutuskan untuk menetap di
suatu tempat lain yang kemudian bernama Kota Bandir. Setelah sekitar 4
tahun menetap di Kota Bandir ini, secara tiba-tiba, Ratu Anom Kesumayuda
datang menemui Raden Sulaiman dimana Ratu Anom Kesumayuda menyatakan
bahwa ia dan sebagian besar petinggi dan penduduk Panembahan Sambas di
Kota Lama akan berhijrah dari wilayah Sungai Sambas ini dan akan mencari
tempat menetap yang baru di wilayah Sungai Selakau karena ia (Ratu Anom
Kesumayuda)telah berseteru dan tidak sanggup menghadapi ulah adiknya
yaitu Raden Aryo Mangkurat di Kota Lama. Untuk itulah Ratu Anom
Kesumayuda kemudian menyatakan menyerahkan kekuasaan di wilayah Sungai
Sambas ini kepada Raden Sulaiman dan agar melakukan pemerintahan di
wilayah Sungai Sambas ini.
Sekitar 5 tahun setelah mendapat mandat penyerahan kekuasaan dari
Ratu Anom Kesumayuda maka setelah berembug dengan orang-orangnya dan
melakukan segala persiapan yang diperlukan, Raden Sulaiman kemudian
memutuskan untuk mendirikan sebuah Kerajaan baru. Maka kemudian pada
sekitar tahun 1671 M Raden Sulaiman mendirikan Kesultanan Sambas dengan
Raden Sulaiman sebagai Sultan pertama Kesultanan Sambas dengan gelar
Sultan Muhammad Shafiuddin yaitu mengambil gelar dari nama gelaran Abang
dari Ibundanya (Putri Surya Kesuma) yaitu Sultan Muhammad Shafiuddin
(Digiri Mustika, Sultan Sukadana. Pusat pemerintahan Kesultanan Sambas
ini adalah ditempat yang baru di dekat muara Sungai Teberrau yang
bernama Lubuk Madung.
Setelah memerintah selama sekitar 15 tahun yang di isi dengan
melakukan penataaan sistem pemerintahan dan pembinaan hubungan dengan
negari-negeri tetangga, pada tahun 1685 Sultan Muhammad Shafiuddin
(Raden Sulaiman) mengundurkan diri dari Tahta Kesultanan Sambas dan
mengangkat anak sulungnya yaitu Raden Bima sebagai penggantinya dengan
gelar Sultan Muhammad Tajuddin.
Sekitar setahun setelah memerintah sebagai Sultan Sambas ke-2, Sultan
Muhammad Tajuddin (Raden Bima), atas persetujuan dari Ayahnya (Raden
Sulaiman) kemudian memindahkan pusat pemerintahan Kesultanan Sambas dari
Lubuk Madung ke suatu tempat tepat di depan percabangan 3 buah Sungai
yaitu Sungai Sambas, Sungai Teberrau dan Sungai Subah. Tempat ini
kemudian disebut dengan nama "Muare Ulakkan" yang menjadi pusat
pemerintahan Kesultanan Sambas seterusnya yaitu dari tahun 1685 M itu
hingga berakhirnya pemerintahan Kesultanan Sambas pada tahun 1956 M atau
sekitar 250 tahun.
Kerajaan Banjar menaungi wilayah Sungai Sambas dimulai dari awal abad
ke-15 M hingga pertengahan abad ke-16 M yaitu pada masa Kerajaan Melayu
hindu Sambas yang berkuasa di wilayah Sungai Sambas. Kerajaan Melayu
hindu Sambas itu kemudian runtuh pada pertengahan abad ke-17 dan
digantikan oleh Panembahan Sambas hindu yang menguasai wilayah Sungai
Sambas itu selanjutnya. Panembahan Sambas hindu ini didirikan oleh
orang-orang Jawa yang merupakan Bangsawan Jawa dari Raja Majapahit
Wikramawardhana. Sejak berdirinya Panembahan Sambas hindu bernaung
dibawah Kesultanan Sukadana hingga awal abad ke-17 M dan selanjutnya
beralih bernaung dibawah Kesultanan Johor.Panembahan Sambas hindu ini kemudian runtuh dan berdirilah Kesultanan Sambas.Kesultanan Sambas yang didirikan pada sekitar tahun 1675 M oleh keturunanan Sultan Brunei melalui Sultan Tengah dari Kesultanan Brunei. Sejak berdirinya Kesultanan Sambas
adalah berdaulat penuh yaitu tidak pernah bernaung atau membayar upeti
pada Kerajaan manapun hingga kemudian baru pada tahun 1855 M (pada masa
Sultan Umar Kamaluddin, Sultan Sambas ke-12) Kesultanan Sambas mulai
dikendalikan pemerintahannya oleh Hindia Belanda (seperti juga seluruh
Kerajaan-Kerajaan yang ada di Indonesia ini pada masa itu terutama di
Pulau Jawa). Sehingga sejak masa Sultan Sambas pertama (1675) hingga
masa Sultan Sambas ke-11 (1855) yaitu selama 180 tahun, Kesultanan
Sambas itu berdaulat penuh yaitu tidak ada pihak manapun yang menaungi,
mengendalikan apalagi menguasai Kesultanan Sambas.
Jadi Kesultanan Sambas berbeda dengan Panembahan Sambas apalagi
Kerajaan Melayu hindu Sambas yang bernaung kepada Kerajaan Banjar itu.
Sedangkan Kesultanan Sambas tidak pernah bernaung dibawah Kerajaan manapun yang mana Sultan-Sultan Sambas itu adalah Keturunan Nabi Muhammad Saw (Ahlul Bayt) melalui Sultan-Sultan Brunei.
Sedangkan yang tercantum dalam Kitab Negarakertagama itu adalah
Kerajaan Sambas kuno yang menunjukkan bahwa paling tidak sekitar abad
ke-13 M di wilayah Sungai Sambas telah berdiri Kerajaan yang cukup
besar. Sedangkan Kesultanan Sambas adalah Dinasti Penguasa di Sungai
Sambas yang paling akhir masanya dimana pada masa berdirinya Kesultanan
Sambas, Kerajaan Majapahit telah runtuh sedangkan Kesultanan Banten dan Kesultanan Demak kekuasaannya tidak sampai ke Kesultanan Sambas apalagi Kesultanan Mataram terlalu lemah yang kemudian pecah menjadi 3 buah Kesultanan yang kecil-kecil (Yogyakarta, Mangkunegara dan Surakarta). Bahkan Kesultanan Sambas selama sekitar 100 tahun yaitu dari paruh pertama abad ke-18 hingga paruh pertama abad ke-19 M merupakan Kerajaan Terbesar
di wilayah pesisir Barat Pulau Borneo ini (Kalimantan Barat) hingga
kemudian Hindia Belanda masuk ke wilayah pesisir Barat Pulau Borneo ini
pada awal abad ke-19 M dimana pihak Hindia Belanda ini yang membuat
besar Kesultanan Pontianak sehingga kemudian Kesultanan Pontianak menggantikan posisi Kesultanan Sambas sebagai Kerajaan Terbesar di wilayah ini pada masa itu.
Peninggalan Kesultanan Sambas
Peninggalan dari jejak Kesultanan Sambas yang masih ada hingga saat
ini adalah Masjid Jami' Kesultanan Sambas, Istana Sultan Sambas,
Makam-makam Sultan Sambas dari Sultan Sambas pertama hingga Sultan
Sambas ke-14 serta sebagian alat-alat kebesaran Kerajaan seperti tempat
tidur Sultan terakhir, kaca hias, seperangkat alat untuk makan sirih,
pakaian kebesaran Sultan, payung ubur-ubur, tombak canggah, 3 buah
meriam canon di depan istana dan 2 buah meriam lele, 2 buah tempayan
keramik dari negeri Tiongkok dan 4 buah kaca cermin besar dari Kerajaan
Perancis dan 2 buah kaca cermin besar dari Kerajaan Belanda.
Sebagian besar barang-barang peninggalan Kesultanan Sambas lainnya
telah hilang atau terjual oleh oknum tertentu, namun secara fisik jejak
Kesultanan Sambas masih terlihat jelas dan terasa kuat di Sambas ini.
Juga Keturunan dari Sultan-Sultan Sambas ini bertebaran di wilayah
Borneo (Kalimantan) Barat ini baik di Kota Sambas, Singkawang dan
Pontianak yang sebagiannya masih menggunakan gelaran Raden.
Sultan-Sultan Sambas
Sultan-Sultan Sambas seluruhnya berjumlah 15 Sultan yaitu :
- Sultan Muhammad Shafiuddin I bin Sultan Ibrahim Ali Omar Shah ( Sultan Tengah ) (1671 - 1682)
- Sultan Muhammad Tajuddin bin Sultan Muhammad Shafiuddin I (1682 - 1718)
- Sultan Umar Aqamaddin I bin Sultan Muhammad Tajuddin (1718 - 1732)
- Sultan Abubakar Kamaluddin bin Sultan Umar Aqamaddin I (1732 - 1762)
- Sultan Umar Aqamaddin II bin Sultan Abubakar Kamaluddin (1762 - 1786) dan (1793 - 1802)
- Sultan Achmad Tajuddin bin Sultan Umar Aqamaddin II (1786 - 1793)
- Sultan Abubakar Tajuddin I bin Sultan Umar Aqamaddin II (1802 - 1815)
- Sultan Muhammad Ali Shafiuddin I bin Sultan Umar Aqamaddin II (1815 - 1828)
- Sultan Usman Kamaluddin bin Sultan Umar Aqamaddin II (1828 - 1832)
- Sultan Umar Aqamaddin III bin Sultan Umar Aqamaddin II (1832 - 1846)
- Sultan Abu Bakar Tajuddin II bin Sultan Muhammad Ali Shafiuddin I (1846 - 1854)
- Sultan Umar Kamaluddin bin Sultan Umar Aqamaddin III (1854 - 1866)
- Sultan Muhammad Shafiuddin II bin Sultan Abubakar Tajuddin II (1866 - 1924)
- Sultan Muhammad Ali Shafiuddin II bin Sultan Muhammad Shafiuddin II (1924 - 1926)
- Sultan Muhammad Ibrahim Shafiuddin bin Pangeran Adipati Achmad bin Sultan Muhammad Shafiuddin II (1931 - 1944) ( Sultan Sambas Terakhir )
- Pangeran Ratu Muhammad Taufik bin Sultan Muhammad Ibrahim Shafiuddin (1944 - 1984) ( Kepala Rumah Tangga Istana Kesultanan Sambas )
- Pangeran Ratu Winata Kusuma bin Pangeran Ratu Muhammad Taufik (2000 - 2008) ( Kepala Rumah Tangga Istana Kesultanan Sambas )
ayo berkomentar dengan kata-kata yang sopan