KISAH EMPU/MPU GANDRING

KISAH EMPU/MPU GANDRING

Sekedar Informasi :
Mpu Gandring adalah tokoh dalam Pararaton (Kitab Raja-Raja) yang dikisahkan sebagai seorang pembuat senjata ampuh. Keris buatannya konon telah menewaskan Ken Arok pendiri Kerajaan Singosari.

Sejarah Empu Gandring

Mpu Gandring berasal dari desa Lulumbang atau Palumbangan-Doko, dekat Wlingi-Blitar. Ia merupakan sahabat dari Bango Samparan ,ayah angkat Ken Arok. Dikisahkan dalam Pararaton bahwa Ken Arok berniat mencari senjata ampuh untuk membunuh majikannya, yaitu Tunggul Ametung akuwu Tumapel. Ia ingin memiliki sebilah keris yang dapat membunuh hanya sekali tusuk.
SEJARAH SINGKAT KERAJAAN GOWA

SEJARAH SINGKAT KERAJAAN GOWA

A.   Asal-Usul Dan Perkembangan Kerajaan Gowa
1.Masa Sebelum Tumanurung
Sebelum zaman Tumanurung, ada empat raja yang pernah mengendalikan Pemerintahan Gowa yakni : Batara Guru, saudara Batara Guru yang dibunuh oleh Tatali (tak diketahui nama aslinya), Ratu Sapu atau Marancai dan Karaeng Katangka (Nama aslinya tak diketahui). Keempat raja tersebut tak diketahui asal-usulnya serta masa pemerintahannya. Tapi mungkin pada masa itu, Gowa purba terdiri dari 9 kasuwiang ( kasuwiyang salapang) mungkin pula lebih yang dikepalai seorang penguasa sebagai raja kecil. Setelah pemerintahan Karaeng katangka, maka sembilan kerajaan kecil bergabung dalam bentuk pemerintahan federasi yang diketuai oleh Paccalaya.
SEJARAH KERAJAAN LARANTUKA

SEJARAH KERAJAAN LARANTUKA

Kerajaan Larantuka adalah sebuah kerajaan yang berada di Nusa Nipa yang berarti Pulau Naga dalam bahasa lokal,sedangkan dalam bahasa PortugisCabo de Flores yang sekarang disebut sebagai Pulau Flores, dan dalam buku Nāgarakṛtāgama dikatakan sebagai Galiyao yang disebut sebagai penghasil kayu cendana. Wilayah kekuasaannya mencapai Adonara. dengan raja pertama bernama Lorenzo I
KESULTANAN PELALAWAN

KESULTANAN PELALAWAN

PELALAWAN


Kesultanan Pelalawan atau Kerajaan Pelalawan (1725 M - 1946 M) yang sekarang terletak di Kabupaten Pelalawan, adalah satu dari beberapa kerajaan yang pernah berkuasa di Bumi Melayu yang turut serta berpengaruh dalam mewarisi budaya Melayudan Islam di Riau. Sedangkan gelar atau sebutan bagi Raja Pelalawan adalah Tengku Besar (Tengkoe Besar).

Asal Usul

Berasal dari kata dasar "Lalau", yang berarti "Cadang", disebutlah daerah Pe-lalau-an atau daerah Pen-cadang-an (tempat yang pernah dicadangkan). Kerajaan ini merupakan sebuah Negeri yang sebelumnya bernama Kerajaan Tanjung Negeri, dibawah pimpinan Maharaja Dinda II sebagai Rajanya (1720 - 1750 M), dan berdiri dibawah kekuasaan Sultan Johor sebagai Yang Dipertuan Tinggi.
Diawali sekitar tahun 1725 M, Maharaja Dinda II memindahkan Pusat Kerajaan Tanjung Negeri dari Sungai Nilo ke Hulu Sungai Rasau. Hal ini terjadi dikarenakan wabah penyakit yang menyerang rakyat Tanjung Negeri sejak masa kekuasaan leluhurnya Maharaja Wangsa Jaya (1686 - 1691 M). Seiring perpindahan tersebutlah Maharaja Dinda II mengubah nama Kerajaan Tanjung Negeri menjadi Kerajaan Pelalawan.

Peperangan

Pada Masa Pemerintahan Maharaja Lela II (1775 M - 1798 M), banyak kemelut yang terjadi di Kesultanan Johor, yaitu sisa-sisa pertikaian takhta antara Raja Kecil dan Bendahara Padang Saujana Abdul Jalil pada tahun 1722. Bendahara Padang Saujana dan anaknya Tengku Sulaiman (kemudian menjadi Sultan Sulaiman Badrul Alam Shah Johor) berpakat dengan Bugis 5 bersaudara (Daeng ParaniDaeng MerewahDaeng MenambunDaeng Kemas dan Daeng Chelak) untuk mengusir Raja Kecil dari takhta Johor. Raja Kecil dikalahkan dan lari ke Siak menubuhkan Kesultanan Siak Sri Indrapura yang kekuasaannya mengambil tanah bekas jajahan Johor di pulau Sumatra. Karena tidak bersedia tunduk dan mengakui kekuasaan Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah akan takhta Johor yang direbutnya, karena masalah itulah Maharaja Lela II memisahkan diri dari Kekuasaan Johor. Hal ini diperkuat oleh kenyataan bahwa penguasa Kesultanan Johor bukan lagi dari keturunan leluhurnya Sultan Alauddin Riayat Syah II(Malaka) tapi dari wangsa Bendahara yang merampas takhta.
Sehubungan dengan hal itu, Sultan Syarif Ali Raja Siak Sri Indrapura (1784-1811) menuntut agar Kerajaan Pelalawan mengakuiKesultanan Siak sebagai Yang Dipertuannya, mengingat dia adalah pewaris sah Raja Kecil, putra Sultan Mahmud Shah II (SultanJohor terdahulu). Namun Maharaja Lela II menolaknya sehingga memicu pertikaian antara Siak Sri Indrapura dan Pelalawan.
Dalam catatan sejarah, terdapat dua kali serangan Pasukan Besar Siak Sri Indrapura ke Pelalawan melalui air dan darat. Peristiwa ini terjadi antara tahun 1797 - 1810 M. Pada perang inilah beberapa Tokoh terkenal muncul, seperti Said Osman Syahabuddin, Datuk Maharaja Sinda, Panglima Kudin dan gurunya Panglima Katan, Panglima Hitam, Hulubalang Engkok, Cik Jeboh, Panglima Garang dan sebagainya.
Pada masa itu, Kerajaan Siak Sri Indrapura melalui penasehat istana mereka yang bernama Said Osman Syahabuddin (Ayah dari Sultan Syarif Ali penguasa Siak kala itu), berencana melakukan penyerangan ke Pelalawan melalui jalur air Sungai Kampar, hal itu dilakukan mengingat benteng pertahanan Pelalawan yang terletak di kuala Sungai Mempusun. Demi mempersiapkan penyerangannya, Said Osman Syahabuddin beserta pengikutnya menyiapkan sebuah kapal perang yang bernama "Kapal Baheram", kapal besar Siak dengan rancangan militer yang kokoh.
Diperkirakan pada awal tahun 1797 M, Said Osman Syahabuddin beserta pasukannya melancarkan serangan ke Pelalawan menggunakan Kapal Baheram. Setibanya mereka di kuala mempusun, terjadilah peperangan antara pasukan Said Osman Syahabuddin yang disambut oleh Pasukan Pelalawan dibawah pimpinan Hulubalang Engkok, perang sengitpun terjadi. Pada pekan pertama, Kapal Baheram Said Osman Syahabuddin terkena hantaman Meriam dari pasukan Hulubalang Engkok, Kapal Baheram mengalami kerusakan, dan memaksa Said Osman Syahabuddin memundurkan sementara pasukannya. Setelah berhasil mundur, Said Osman Syahabuddin beserta awak kapalnya mendiami suatu teluk, yang sekarang dinamakan "Teluk Mundur" di sebelah hilir Kuala Mempusun. Di Teluk Mundur ia kembali mengatur serangan, lalu dengan segera melakukan serangan ke duanya ke Benteng Mempusun. Setelah perang terjadi beberapa hari, Kapal Baheram mendapat kerusakan yang semakin parah, dan tidak dapat melanjutkan peperangan lagi. Lalu pada sorenya Said Osman Syahabuddin memutuskan mundur dan kembali ke Siak Sri Indrapura menggunakan Kapal Baheram yang dalam keadaan rusak parah. Sesampainya mereka di seberang kampung Ransang, Kapal Baherampun tenggelam. Dan sejak saat itu, wilayah tersebut dinamakan "Rasau Baheram", namun Said Osman Syahabuddin dan pasukannya berhasil kembali ke Siak Sri Indrapura dengan selamat melalui jalan darat.
Setelah Pasukan Said Osman Syahabuddin mundur, keluar satu pantun terkenal di masyarakat Pelalawan saat itu, yang berbunyi sebagai berikut :
  • Empak-empak diujung Galah
  • Anak Toman disambar Elang
  • Pelalawan dirompak, haram tak kalah
  • Baheram Osman berlayar pulang.

Perebutan Kekuasaan

Sekembalinya pasukan Sayyed Osman Syahabuddin ke Siak Sri Indrapura, kebencian Pelalawan semakin dalam meskipun tidak ada konflik langsung yang terjadi antara Siak Sri Indrapura dan Pelalawan dalam beberapa tahun. Pada masa itu, Datuk Maharaja Sinda dan Pembesar Kerajaan Pelalawan, mengambil sikap “menentang Siak”. Sikap penentangan ini dibuktikan dengan seluruh rumpun pisang yang berjantung ke arah Siak dipancung dan ayam yang berkokok  menghadap ke Siak dibunuh. Bukti penentangan terhadap Siakpun masih ada hingga saat ini, yaitu batu nisan Datuk Maharaja Sinda yang makamnya terletak di Desa Kuala Tolam, Kecamatan Pelalawan tetap condong ke Selatan, tidak ke Barat (ke arah Siak).
Sampai pada tahun 1798 M, Pasukan Siak Sri Indrapura yang dipimpin oleh Panglima Besar Syarif Abdurrahman (adik Sultan Syarif Ali Siak), kembali melakukan penyerangan terhadap Pelalawan. Serangan kedua tersebut dilakukan melalui dua arah, yaitu pasukan angkatan darat menyerang melalui hulu Sungai Rasau dan pasukan angkatan laut menyerang melalui muara Sungai Kampar. Pada pertempuran itu Panglima Besar Kerajaan Pelalawan satu persatu gugur, termasuk Panglima Kudin dan tunangannya Zubaidah yang gugur di benteng pertahanan Tanjung Pembunuhan. Kali ini Pelalawan takhluk dibawah tangan Syarif Abdurrahman. Lalu, Syarif Abdurrahman berdiri sebagai Raja Pelalawan yang diakui oleh Kakaknya Sultan Syarif Ali dari Kerajaan Siak Sri Indrapura dan Pemerintah Hindia Belanda dengan gelar Sultan Assyaidis Syarif Abdurrahman Fakhruddin. Setelah Sultan Syarif Abdurrahman mangkat. Takhta Kerajaan Pelalawan diwariskan secara turun temurun kepada anak cucu dari Sultan Syarif Abdurrahman sendiri.
Pada beberapa sumber menyebutkan, sebab kekalahan Pelalawan ialah dikarenakan adanya mata-mata dari Siak Sri Indrapura yang bernama "Kasim", menyirami seluruh mesiu di Benteng Pertahanan Mempusun dengan air sehingga tidak dapat digunakan lagi.

Akhir Kekuasaan

Pada masa Pemerintahan Sultan Syarif Harun (1940-1946), adalah masa pemerintahan yang paling sulit di Kerajaan Pelalawan. pada masa itu Indonesia sengsara di bawah penjajahan Jepang, rakyat menderita lahir batin. Penderitaan itu dirasakan pula oleh rakyat Pelalawan. Padi rakyat dicabut untuk kepentingan Jepang, orang-orang diburu untuk dijadikan romusha, dimana-mana terjadi kesewenang-wenangan.
Demi menjaga kemakmuran rakyat Pelalawan, pada tahun 1946 Sultan Syarif Harun mendarma baktikan Pelalawan kepada Pemerintah Indonesia Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, Sultan Syarif Harun bersama Orang-orang Besar bersepakat menyatakan diri dan seluruh Rakyat Pelalawan ikut ke dalam Pemerintahan RepublikIndonesia, dan siap sedia membantu perjuangan dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia
Pada tanggal 7 Agustus 2008, Lembaga Kerapatan Adat Melayu Kabupaten Pelalawan mengangkat Tengku Kamaruddin Haroen bin Sultan Syarif Harun sebagai Sultan Pelalawan ke-10, dengan Gelar Sultan Assyaidis Syarif Kamaruddin Haroen.

Download Artikelnya Di Sini
Password Di Sini
SEJARAH KESULTANAN BARUS

SEJARAH KESULTANAN BARUS

Kesultanan Barus merupakan kerajaan Islam yang terletak di Barus, Tapanuli TengahSumatera Utara. Dalam menjalankan roda pemerintahannya, Kesultanan Barus lebih bersifat demokratis seperti halnya nagari-nagari di Minangkabau, dengan "balai" sebagai tempat permusyawaratan dan mufakat. Setiap masyarakat berperan dalam pengambilan keputusan di kerajaan. Kesultanan ini didirikan oleh Sultan Ibrahimsyah dan berakhir pada saat pendudukan Hindia-Belanda pada abad ke-19.


Asal Usul

Barus atau yang sebelumnya dikenal dengan Fansur, merupakan salah satu pelabuhan tua yang sudah berdagang emas serta kamper sejak ribuan tahun lalu. Menurut kronik Barus yang berjudul Sejarah Tuanku Badan Kesultanan Barus bermula dari berpindahnya anggota keluarga Kesultanan Indrapura ke TarusanPesisir Selatan. Dari sini kemudian mereka pergi ke utara hingga tiba di Barus.
Menurut kronik itu, Kesultanan Barus didirikan oleh Sultan Ibrahimsyah bin Tuanku Sultan Muhammadsyah dari Tarusan, Pesisir Selatan, tanah Minangkabau. Kepergian Sultan Ibrahimsyah (Ibrahim) ke Barus setelah ia berseteru dengan keluarganya di Tarusan. Ia pergi menyusuri pantai barat Sumatera hingga tiba di Batang Toru. Dari sini ia terus ke pedalaman menuju Silindung. Di pedalaman, masyarakat Silindung mengangkatnya sebagai raja Toba-Silindung. Di Silindung, Ibrahim juga membentuk institusi empat penghulu seperti halnya di Minangkabau. Penghulu ini berfungsi sebagai wakilnya di Silindung. Selanjutnya ia menuju Bakara dan menikah dengan putri pimpinan setempat. Dari putri Batak itulah, Sultan Ibrahim memiliki putra yang bernama Sisingamangaraja.
Setelah itu ia melanjutkan perjalanannya ke Pasaribu. Disana masyarakat setempat menanyakan dari mana asalnya dan bertujuan untuk apa datang kesana. Untuk menyenangkan hati raja, Ibrahim menjawab bahwa ia datang dari Bakara dan bermarga Pasaribu. Mendengar kesamaan marganya dengan Ibrahim, Raja Pasaribu sangatlah senang.Ia kemudian meminta Ibrahim untuk tinggal di Pasaribu. Namun Ibrahim merasa bahwa tempat ini tidaklah cocok untuknya. Maka bersama raja dari Empat Pusaran (empat suku) ia pergi hingga tiba di tepi laut. Tempat ini kemudian dinamainya Barus, serupa dengan nama kampung kecilnya di Tarusan, Pesisir Selatan. Disini ia diangkat sebagai raja dengan gelar Tuanku Sultan Ibrahimsyah.


Sejarah Berdiri

Pada abad ke-14, Kesultanan Barus merupakan salah satu pelabuhan Kerajaan Pagaruyung, bersama Tiku dan Pariaman, yang menjadi tempat keluar masuk perdagangan diPulau Sumatera.Tahun 1524, Barus jatuh di bawah kekuasaan Kesultanan Aceh. Posisi kesultanan ini kemudian menjadi vassal Aceh hingga tahun 1668. Selama pendudukan Aceh banyak penduduk Barus yang sebelumnya penyembah berhala menjadi muslim.
Dalam perkembangannya Kesultanan Barus dipimpin oleh dua orang raja, yakni Raja di Hulu yang memimpin masyarakat Toba-Silindung (pedalaman) dan Raja di Hilir yang membawahi orang-orang Minangkabau (pesisir) yang bermukim dari Barus hingga Batahan. Pembentukan dua raja ini bertujuan untuk memberikan keuntungan terhadap dominasi Aceh di Barus, sekaligus melegitimasi kedudukan raja-raja Batak. Sejak kehadiran VOC pada tahun 1668, kedua raja ini memiliki sikap yang berbeda. Raja di Hulu menolak kehadiran VOC dan mengangkat setia kepada sultan Aceh, sedangkan Raja di Hilir menerimanya dan menentang monopoli Aceh di Barus. Pada abad ke-19, Barus berada di bawah kekuasaan Hindia-Belanda dan menjadi bagian propinsi Sumatra's Weskust yang berpusat di Padang.

Download Artikelnya Di Sini
Password Di Sini
KESULTANAN PONTIANAK

KESULTANAN PONTIANAK

Download Artikelnya Di Sini
Pasword Di Sini

Kadriyah Pontianak adalah sebuah kesultanan Melayu yang didirikan pada tahun 1771 oleh Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie, keturunan Rasulullah dari Imam Ali ar-Ridha di daerah muara Sungai Kapuas yang termasuk kawasan yang diserahkan Sultan Banten kepada VOC Belanda. Ia melakukan dua pernikahan politik di Kalimantan, pertama dengan putri dari Kerajaan Mempawah dan kedua dengan putri dari Kesultanan Banjar (Ratu Syarif Abdul Rahman, putri dari Sultan Tamjidillah I, sehingga ia dianugerahi gelar Pangeran). Setelah mereka mendapatkan tempat di Pontianak, kemudian mendirikan Istana Kadriyah dan mendapatkan pengesahan sebagai Sultan Pontianak dari Belanda pada tahun 1779.


Awal Berdiri

Kesultanan ini didirikan oleh Syarif Abdurrahman Alkadrie, seorang putra ulama keturunan Arab Hadramaut dari Kerajaan Mempawah, pada hari Rabu, 23 Oktober 1771 (14 Rajab 1185 H) yang ditandai dengan membuka hutan di persimpangan Sungai Landak, Sungai Kapuas Kecil, dan Sungai Kapuas Besar untuk mendirikan balai dan rumah sebagai tempat tinggal. Pada tahun 1778 (1192 H), Syarif Abdurrahman dikukuhkan menjadi Sultan Pontianak. Letak pusat pemerintahan ditandai dengan berdirinya Masjid Jami Pontianak (kini bernama Masjid Sultan Syarif Abdurrahman) dan Istana Kadariyah yang sekarang terletak di Kelurahan Dalam BugisKecamatan Pontianak TimurKota Pontianak.


Masa Pendudukan Kolonial

Pada tahun 1778, kolonialis Belanda dari Batavia memasuki Pontianak dengan dipimpin oleh Willem Ardinpalm. Belanda saat itu menempati daerah di seberang istana kesultanan yang kini dikenal dengan daerah Tanah Seribu atau Verkendepaal. Palm kemudian digantikan oleh Wolter Markus Stuart yang bertindak sebagai Resident van Borneo’s Wester Afdeling I (1779-1784) dengan kedudukan di Pontianak. Semula, Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie menolak tawaran kerjasama dengan negeri asing dari Eropa itu. Namun setelah utusan itu datang untuk kedua kalinya, Syarif menerima Belanda sebagai rekan persemakmuran dengan tangan terbuka.
Pada tanggal 5 Juli 1779Belanda membuat perjanjian dengan Sultan mengenai penduduk Tanah Seribu agar dapat dijadikan daerah kegiatan bangsa Belanda yang kemudian menjadi kedudukan pemerintahan Resident het Hoofd Westeraffieling van Borneo (Kepala Daerah Keresidenan Borneo Barat) dan Asistent Resident het Hoofd der Affleeling van Pontianak (Asisten Residen Kepala Daerah Kabupaten Pontianak). Area ini selanjutnya menjadi Controleur het Hoofd Onderafdeeling van Pontianak atau Hoofd Plaatselijk Bestuur van Pontianak.
Pada tahun 1808, Sultan Syarif Abdurrahman wafat. Dia dimakamkan di Batu Layang, Pontianak. Selanjutnya, Syarif Kasim Alkadrie (1808-1819) naik tahta menjadi Sultan Pontianak menggantikan ayahnya. Di bawah kekuasaan Sultan Syarif Kasim, Kesultanan Pontianak semakin mempererat kerjasama dengan Kerajaan Belanda dan kemudianKerajaan Inggris sejak tahun 1811.
Setelah Sultan Syarif Kasim wafat pada 25 Februari 1819, Syarif Usman Alkadrie (1819-1855) naik tahta sebagai Sultan Pontianak. Pada masa kekuasaan Sultan Syarif Usman, banyak kebijakan bermanfaat yang dikeluarkan olehnya, termasuk dengan meneruskan proyek pembangunan Masjid Jami’ pada 1821 dan perluasan Istana Kadriyah pada tahun 1855. Pada April 1855, Sultan Syarif Usman meletakkan jabatannya sebagai sultan dan kemudian wafat pada 1860.
Anak tertua Sultan Syarif Usman, Syarif Hamid Alkadrie (1855-1872), kemudian dinobatkan sebagai Sultan Pontianak pada 12 April 1855. Dan ketika Sultan Syarif Hamid wafat pada 1872, putra tertuanya, Syarif Yusuf Alkadrie (1872-1895) naik tahta sebagai beberapa bulan setelah ayahanya wafat. Sultan Syarif Yusuf dikenal sebagai satu-satunya sultan yang paling sedikit mencampuri urusan pemerintahan. Dia lebih aktif dalam bidang keagamaan, sekaligus merangkap sebagai penyebar agama Islam.
Pemerintahan Sultan Syarif Yusuf berakhir pada 15 Maret 1895. Dia digantikan oleh putranya, Syarif Muhammad Alkadrie (1895-1944) yang dinobatkan sebagai Sultan Pontianak pada 6 Agustus 1895. Pada masa ini, hubungan kerjasama Kesultanan Pontianak dengan Belanda semakin erat dan kuat. Masa pemerintahan Sultan Syarif Muhammad merupakan masa pemerintahan terpanjang dalam sejarah Kesultanan Pontianak. Ia sangat berperan dalam mendorong terjadinya pembaruan dan moderenisasi diPontianak. Dalam bidang sosial dan kebudayaan, dia adalah sultan Melayu di Kalimantan Barat yang pertama kali berpakaian kebesaran Eropa di samping pakaian Melayu,Teluk Belanga, sebagai pakaian resmi. Dia juga orang yang menyokong majunya bidang pendidikan serta kesehatan. Selain itu, ia juga mendorong masuknya modal swastaEropa dan Cina, serta mendukung bangsa Melayu dan Cina mengembangkan perkebunan karet, kelapa, dan kopra serta industri minyak kelapa di Pontianak. Sementara dalam aspek politik, Sultan memfasilitasi berdiri dan berkembangnya organisasi-organisasi politik, baik yang dilakukan oleh kerabat kesultanan maupun tokoh-tokoh masyarakat.

Masa Pendudukan Jepang

Era kekuasaan Sultan Syarif Muhammad redup seketika seiring kedatangan bala tentara Kekaisaran Jepang ke Pontianak pada tahun1942. Pada 24 Januari 1944, karena dianggap memberontak dan bersekutu dengan BelandaJepang menghancurkan Kesultanan Pontianak dan beberapa kesultanan-kesultanan Melayu di Kalimantan Barat.
Pihak Jepang sebenarnya sudah mencurigai bahwa di Kalimantan Barat terdapat komplotan-komplotan yang terdiri atas kaum cendikiawan, para bangsawan, raja, sultan, tokoh masyarakat, orang-orang Tionghoa, dan para pejabat. Sehingga mereka berinisiatif untuk menghancurkan mereka dengan penangkapan-penangkapan. Penangkapan-penangkapan tersebut terjadi antara September 1943dan awal 1944. Tak hanya melakukan penangkapan-penangkapan, Jepang juga melakukan penyiksaan dan pembunuhan massal terhadap ribuan penduduk Pontianak dan sekitarnya. Pada 28 Juni 1944Jepang menghabisi Sultan Syarif Muhammad beserta beberapa anggota keluarga dan kerabat kesultanan, pemuka adat, para cendekiawan, dan tokoh masyarakat Pontianak. Nasib sama juga menimpa para raja dan sultan lain serta masyarakat di Kalimantan Barat. Tragedi berdarah ini kemudian dikenal dengan sebutan Peristiwa Mandor. Pembunuhan Sultan Syarif Muhammad dan tindakan semena-mena Jepang inilah yang menjadi faktor utama terjadinya Perang Dayak Desa.
Jenazah Sultan Syarif Muhammad baru ditemukan pada 1946 oleh putranya yang bernama Syarif Hamid Alkadrie. Syarif Hamid bisa selamat dari genosida itu karena tidak sedang berada di Pontianak. Saat itu ia menjadi tawanan perang Jepang di Batavia sejak 1942 dan bebas pada 1945.

Masa Kemerdekaan

Syarif Hamid kembali ke Pontianak dan dinobatkan menjadi Sultan Pontianak (1945-1978) pada 29 Oktober 1945 dengan gelar Sultan Syarif Hamid II, atau lebih dikenal dengan nama Sultan Hamid II.
Setelah peristiwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, atas prakarsa Sultan Hamid II inilah, Kesultanan Pontianak dan kesultanan-kesultanan Melayu di Kalimantan Barat bergabung dengan Republik Indonesia Serikat. Pada masa itu Sultan Hamid IImenjabat sebagai Presiden Negara Kalimantan Barat (Kepala Daerah Istimewa Kalimantan Barat) pada 1947-1950Sultan Hamid IIadalah perancang Lambang Negara Indonesia. Selain sebagai Ketua Perhimpunan Musyawarah Federal (Bijeenkomst voor Federaal Overleg / BFO) pada tahun 1949, ia juga menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio di Kabinet Republik Indonesia Serikat.
Pada 28 Oktober 1946, Pemerintah Sipil Hindia Belanda sebagai Dewan Borneo Barat membentuk Daerah Istimewa Kalimantan Barat dan mendapat kedudukan sebagai Daerah Istimewa pada 12 Mei 1947. Daerah Istimewa Kalimantan Barat meliputi monarki-monarki (swapraja) di Kalimantan Barat, termasuk Kesultanan Pontianak. Saat itu Sultan Hamid II ditujuk sebagai Kepala Daerah Istimewa Kalimantan Barat. Sebelum 5 April 1950, Daerah Istimewa Kalimantan Barat bergabung dengan Negara Republik Indonesia (RIS). Daerahnya kemudian menjadi bagian dari Provinsi Administratif Kalimantan. Setelah pembubaran Republik Indonesia Serikat pada 17 Agustus 1950, wilayah Kesultanan Pontianak menjadi bagian Provinsi Kalimantan Barat.
Setelah Sultan Hamid II wafat pada 30 Maret 1978, terjadi kekosongan jabatan sultan di keluarga Kesultanan Paontianak. Kekosongan jabatan itu bahkan berlangsung selama 25 tahun. Namun pada 15 Januari 2004, pihak bangsawan Istana Kadriyah mengangkat Syarif Abubakar Alkadrie sebagai Sultan Pontianak. Jauh sebelumnya, tepatnya pada 29 Januari 2001 seorang bangsawan senior, Syarifah Khadijah Alkadrie, mengukuhkan Kerabat Muda Istana Kadriah Kesultanan Pontianak. Kerabat Muda ini bertujuan menjaga segala tradisi dan nilai budaya Melayu Pontianak, termasuk menghidupkan dan melestarikannya.

Sultan Berkuasa


1Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie bin Habib Husein Alkadrie1 September 1778 – 28 Februari 1808
2Sultan Syarif Kasim Alkadrie bin Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie28 Februari 1808 – 25 Februari 1819
3Sultan Syarif Usman Alkadrie bin Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie[4]25 Februari 1819 – 12 April 1855
4Sultan Syarif Hamid Alkadrie bin Sultan Syarif Usman Alkadrie12 April 1855 – 22 Agustus 1872
5Sultan Syarif Yusuf Alkadrie bin Sultan Syarif Hamid Alkadrie22 Agustus 1872 – 15 Maret 1895
6Sultan Syarif Muhammad Alkadrie bin Sultan Syarif Yusuf Alkadrie15 Maret 1895 – 24 Juni 1944
*Interregnum24 Juni 1944 – 29 Oktober 1945
7Mayjen KNIL Sultan Hamid II (Sultan Syarif Hamid Alkadrie bin Sultan Syarif Muhammad Alkadrie)29 Oktober 1945 – 30 Maret 1978
*Interregnum30 Maret 1978 – 15 Januari 2004
8Sultan Syarif Abubakar Alkadrie bin Syarif Mahmud Alkadrie bin Sultan Syarif Muhammad Alkadrie[5]15 Januari 2004 – Sekarang