Dalam
sejarahnya, cikal bakal Buton sebagai negeri telah dirintis oleh empat
orang yang disebut dengan Mia Patamiana. Mereka adalah: Sipanjonga,
Simalui, Sitamanajo, Sijawangkati. Menurut sumber sejarah lisan Buton,
empat orang pendiri negeri ini berasal dari Semenanjung Melayu yang
datang ke Buton pada akhir abad ke-13 M. Empat orang (Mia Patamiana)
tersebut terbbaagi dalam dua kelompok: Sipanjongan dan Sijawangkati;
Simalui dan Sitamanajo. Kelompok pertama beserta para pengikutnya
menguasai daerah Gundu-Gundu; sementara kelompok kedua dengan para
pengikutnya menguasai daerah Barangkatopa.Sipanjongan dan para
pengikutnya meninggalkan tanah asal di Semenanjung Melayu menuju kawasan
timur dengan menggunakan sebuah perahu palolang pada bulan Syaban 634
Hijriyah (1236 M).
Dalam perjalanan itu, mereka singgah pertama kalinya
di pulau Malalang, terus ke Kalaotoa dan akhirnya sampai di Buton,
mendarat di daerah Kalampa. Kemudian mereka mengibarkan bendera Kerajaan
Melayu yang disebut bendera Longa-Longa. Ketika Buton berdiri, bendera
Longa-Longa ini dipakai sebagai bendera resmi di kerajaan
Buton.Sementara Simalui dan para pengikutnya diceritakan mendarat di
Teluk Bumbu, sekarang masuk dalam daerah Wakarumba. Pola hidup mereka
berpindah-pindah hingga akhirnya berjumpa dengan kelompok Sipanjonga.
Akhirnya, terjadilah percampuran melalui perkawinan. Sipanjonga menikah
dengan Sibaana, saudara Simalui dan memiliki seorang putera yang bernama
Betoambari. Setelah dewasa, Betoambari menikah dengan Wasigirina, putri
Raja Kamaru. Dari perkawinan ini, kemudian lahir seorang anak bernama
Sangariarana. Seiring perjalanan, Betoambari kemudian menjadi penguasa
daerah Peropa, dan Sangariarana menguasai daerah Baluwu. Dengan
terbentuknya desa Peropa dan Baluwu, berarti telah ada empat desa yang
memiliki ikatan kekerabatan, yaitu: Gundu-Gundu, Barangkatopa, Peropa
dan Baluwu. Keempat desa ini kemudian disebut Empat Limbo, dan para
pimpinannya disebut Bonto. Kesatuan keempat pemimpin desa (Bonto) ini
disebut Patalimbona. Mereka inilah yang berwenang memilih dan mengangkat
seorang Raja.
Selain empat
Limbo di atas, di pulau Buton juga telah berdiri beberapa kerajaan kecil
yaitu: Tobe-Tobe, Kamaru, Wabula, Todanga dan Batauga. Seiring
perjalanan sejarah, kerajaan-kerajaan kecil dan empat Limbo di atas
kemudian bergabung dan membentuk sebuah kerajaan baru, dengan nama
kerajaan Buton. Saat itu, kerajaan-kerajaan kecil tersebut memilih
seorang wanita yang bernama Wa Kaa Kaa sebagai raja. Peristiwa ini
terjadi sekitar tahun 1332 M.
Berkaitan dengana asal-usul nama Buton, menurut tradisi lokal berasal dari Butu, sejenis pohon beringin (barringtonia asiatica). Penduduk setempat menerima penyebutan ini sebagai penanda dari para pelaut nusantara yang sering singgah di pulau itu. Diperkirakan, nama ini telah ada sebelum Majapahit datang menaklukkannya. Dalam surat-menyurat, kerajaan ini menyebut dirinya Butuni, orang Bugis menyebutnya Butung, dan Belanda menyebutnya Buton. Selain itu, dalam arsip Belanda, negeri ini juga dicatat dengan nama Butong (Bouthong). Ketika Islam masuk, ada usaha untuk mengkaitkan nama Buton ini dengan bahasa Arab. Dikatakan, nama Buton berasal dari kata Arab bathni atau bathin, yang berarti perut atau kandungan.
Kerajaan Buton dan Islam
Dengan naiknya Wa
Kaa Kaa sebagai raja, Kerajaan Buton semakin berkembang hingga Islam
masuk ke Buton melalui Ternate pada pertengahan abad ke-16 M. Selama
masa pra Islam, di Buton telah berkuasa enam orang raja, dua di
antaranya perempuan. Perubahan Buton menjadi kesultanan terjadi pada
tahun 1542 M (948 H), bersamaan dengan pelantikan Lakilaponto sebagai
Sultan Buton pertama, dengan gelar Sultan Murhum Kaimuddin Khalifatul
Khamis. Setelah Raja Lakilaponto masuk Islam, kerajaan Buton semakin
berkembang dan mencapai masa kejayaan pada abad ke 17 M. Ikatan kerajaan
dengan agama Islam sangat erat, terutama dengan unsur-unsur sufistik.
Undang-undang Kerajaan Buton disebut dengan Murtabat Tujuh, suatu terma
yang sangat populer dalam tasawuf. Undang-undang ini mengatur tugas,
fungsi dan kedudukan perangkat kesultanan. Di masa ini juga, Buton
memiliki relasi yang baik dengan Luwu, Konawe, Muna dan Majapahit.
Silsilah
Berikut ini
daftar raja dan sultan yang pernah berkuasa di Buton. Gelar raja
menunjukkan periode pra Islam, sementara gelar sultan menunjukkan
periode Islam.
Raja-raja:
1. Rajaputri Wa Kaa Kaa
2. Rajaputri Bulawambona
3. Raja Bataraguru
4. Raja Tuarade
5. Rajamulae
6. Raja Murhum
Sultan-sultan:
1. Sultan Murhum (1491-1537 M)
2. Sultan La Tumparasi (1545-1552)
3. Sultan La Sangaji (1566-1570 M)
4. Sultan La Elangi (1578-1615 M)
5. Sultan La Balawo (1617-1619)
6. Sultan La Buke (1632-1645)
7. Sultan La Saparagau (1645-1646 M)
8. Sultan La Cila (1647-1654 M)
9. Sultan La Awu (1654-1664 M)
10. Sultan La Simbata (1664-1669 M)
11. Sultan La Tangkaraja (1669-1680 M)
12. Sultan La Tumpamana (1680-1689 M)
13. Sultan La Umati (1689-1697 M)
14. Sultan La Dini (1697-1702 M)
15. Sultan La Rabaenga (1702 M)
16. Sultan La Sadaha (1702-1709 M)
17. Sultan La Ibi (1709-1711 M)
18. Sultan La Tumparasi (1711-1712M)
19. Sultan Langkariri (1712-1750 M)
20. Sultan La Karambau (1750-1752 M)
21. Sultan Hamim (1752-1759 M)
22. Sultan La Seha (1759-1760 M)
23. Sultan La Karambau (1760-1763 M)
24. Sultan La Jampi (1763-1788 M)
25. Sultan La Masalalamu (1788-1791 M)
26. Sultan La Kopuru (1791-1799 M)
27. Sultan La Badaru (1799-1823 M)
28. Sultan La Dani (1823-1824 M)
29. Sultan Muh. Idrus (1824-1851 M)
30. Sultan Muh. Isa (1851-1861 M)
31. Sultan Muh. Salihi (1871-1886 M)
32. Sultan Muh. Umar (1886-1906 M)
33. Sultan Muh. Asikin (1906-1911 M)
34. Sultan Muh. Husain (1914 M)
35. Sultan Muh. Ali (1918-1921 M)
36. Sultan Muh. Saifu (1922-1924 M)
37. Sultan Muh. Hamidi (1928-1937 M)
38. Sultan Muh. Falihi (1937-1960 M).
Periode Pemerintahan
Era
pra Islam Kerajaan Buton berlangsung dari tahun 1332 hingga 1542 M.
Selama rentang waktu ini, Buton diperintah oleh enam orang raja.
Sementara periode Islam berlangsung dari tahun 1542 hingga 1960 M.
Selama rentang waktu ini, telah berkuasa 38 orang raja. Sultan terakhir
yang berkuasa di Buton adalah Muhammad Falihi Kaimuddin. Kekuasaannya
berakhir pada tahun 1960 M.
Wilayah Kekuasaan
Kekuasaan Kerajaan Buton meliputi seluruh Pulau Buton dan beberapa pulau yang terdapat di Sulawesi.
Struktur Pemerintahan
Kekuasasan
tertinggi di Kerajaan Buton dipegang oleh sultan. Struktur kekuasaan di
kesultanan ditopang oleh dua golongan bangsawan: kaomu dan walaka.
Walaka adalah golongan yang memegang adat dan pengawas pemerintahan yang
dijalankan oleh sultan. Wewenang pemilihan dan pengangkatan sultan
berada di tangan golongan Walaka, namun, sultan harus berasal dari
golongan kaomu. Untuk mempermudah jalannya pemerintahan, Buton
menjalankan sistem desentralisasi dengan membentuk 72 wilayah kecil yang
disebut kadie. Beberapa jabatan yang ada di struktur pemerintahan Buton
adalah bontona (menteri), menteri besar, bonto, kepala Siolimbona dan
sekretaris sultan.
Kehidupan Sosial Budaya
Sebagai
kerajaan Islam yang tumbuh dari hasil transmisi ajaran Islam di
Nusantara, maka kerajaan Buton juga sangat dipengaruhi oleh model
kebudayaan Islam yang berkembang di Nusantara, terutama dari tradisi
tulis-menulis. Bahkan, dari peninggalan tertulis yang ada, naskah
peninggalan Buton jauh lebih banyak dibanding naskah Ternate, negeri
darimana Islam di Buton berasal. Peninggalan naskah Buton sangat berarti
unutk mengungkap sejarah negeri ini, dan dari segi lain, keberadaan
naskah-naskah ini menunjukkan bahwa kebudayaan Buton telah berkembang
dengan baik. Naskah-naskah tersebut mencakup bidang hukum, sejarah,
silsilah, upacara dan adat, obat-obatan, primbon, bahasa dan hikayat
yang ditulis dalam huruf Arab, Buri Wolio dan Jawi. Bahasa yang
digunakan adalah Arab, Melayu dan Wolio. Selain itu, juga terdapat
naskah yang berisi surat menyurat antara Sultan Buton dengan VOC
Belanda.
Kehidupan di bidang hukum berjalan denga baik tanpa diskriminasi. Siapapun yang bersalah, dari rakyat jelata hingga sultan akan menerima hukuman. Sebagai bukti, dari 38 orang sultan yang pernah berkuasa di Buton, 12 di antaranya mendapat hukuman karena melanggar sumpah jabatan. Satu di antaranya, yaitu Sultan ke-8, Mardan Ali (La Cila) dihukum mati dengan cara digogoli (dililit lehernya dengan tali sampai mati).
Dalam
bidang ekonomi, kehidupan berjalan dengan baik berkat relasi
perdagangan dengan negeri sekitarnya. Dalam negeri Buton sendiri, telah
berkembang suatu sistem perpajakan sebagai sumber pendapatan kerajaan.
Jabatan yang berwenang memungut pajak di daerah kecil adalah tunggu
weti. Dalam perkembangannya, kemudian tejadi perubahan, dan jabatan ini
ditingkatkan statusnya menjadi Bonto Ogena. Dengan perubahan ini, maka
Bonto Ogena tidak hanya berwenang dalam urusan perpajakan, tapi juga
sebagai kepala Siolimbona (lembaga legislatif saat itu). Sebagai alat
tukar dalam aktifitas ekonomi, Buton telah memiliki mata uang yang
disebut Kampua. Panjang Kampua adalah 17,5 cm, dan lebarnya 8 cm,
terbuat dari kapas, dipintal menjadi benang kemudian ditenun menjadi
kain secara tradisional.
Secara umum, ada empat prinsip yang dipegang teguh oleh masyarakat Buton dalam kehidupan sehari-hari saat itu yakni:
1. Yinda Yindamo Arata somanamo Karo (Harta rela dikorbankan demi keselamatan diri)
2. Yinda Yindamo Karo somanamo Lipu (Diri rela dikorbankan demi keselamatan negeri)
3. Yinda Yindamo Lipu somanamo Sara (Negeri rela dikorbankan demi keselamatan pemerintah)
4. Yinda Yindamo Sara somanamo Agama (Pemerintah rela dikorbankan demi keselamatan agama)
2. Yinda Yindamo Karo somanamo Lipu (Diri rela dikorbankan demi keselamatan negeri)
3. Yinda Yindamo Lipu somanamo Sara (Negeri rela dikorbankan demi keselamatan pemerintah)
4. Yinda Yindamo Sara somanamo Agama (Pemerintah rela dikorbankan demi keselamatan agama)
Buton adalah sebuah negeri yang berbentuk pulau dengan letak strategis
di jalur pelayaran yang menghubungkan pulau-pulau penghasil rempah di
kawasan timur, dengan para pedagang yang berasal dari kawasan barat
Nusantara. Karena posisinya ini, Buton sangat rawan terhadap ancaman
eksternal, baik dari bajak laut maupun kerajaan asing yang ingin
menaklukkannya. Untuk mengantisipasi ancaman tersebut, maka kemudian
dibentuk sistem pertahanan yang berlapis-lapis. Lapis pertama ditangani
oleh empat Barata, yaitu Wuna, Tiworo, Kulisusu dan Kaledupa. Lapis
kedua ditangani oleh empat Matana Sorumba, yaitu Wabula, Lapandewa,
Watumotobe dan Mawasangka, sementara lapis ketiga ditangani oleh empat
orang Bhisa Patamiana (pertahanan kebatinan). Untuk memperkuat sistem
pertahanan berlapis tersebut, kemudian dibangun benteng dan kubu-kubu
pertahanan. Pembangunan benteng dimulai pada tahun 1634 oleh Sultan
Buton ke-6, La Buke. Tembok keliling benteng panjangnya 2.740 meter,
melindungi area seluas 401.900 meter persegi. Tembok benteng memiliki
ketebalan 1-2 meter dan ketinggian antara 2-8 meter, dilengkapi dengan
16 bastion dan 12 pintu gerbang. Lokasi benteng berada di daerah
perbukitan berjarak sekitar 3 kilometer dari pantai.
referensi :
http://orangbuton.wordpress.com/2008/08/06/sejarah-kesultanan-buton/
http://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Buton
Download Artikelnya Di Sini
Password Di Sini
ayo berkomentar dengan kata-kata yang sopan