Sejarah
Kerajaan pajajaran merupakan salah satu
negara Hindu Budha yang banyak terdapat di Indonesia pada tahun 600 hingga 1500
M. Kerajaan ini sendiri berpusat di wilayah Jawa Barat, tepatnya di daerah
Pakuan, Bogor. Oleh karenanya kerajaan ini juga sering disebut sebagai kerajaan
Pakuan Pajajaran, karena beribukota di Pakuan.
Dalam sejarah, kerajaan Pajajaran
didirikan pada tahun 923 M oleh Sri Jayabhupati. Proses pendirian kerajaan dan
sejarah Pajajaran ini, diketahui dalam tulisan yang terdapat dalam sebuah
prasasti Sanghyang Tapak.
Salah satu peninggalan kerajaan
Pajajaran yang masih bisa kita lihat hingga saat ini adalah kebun raya Bogor.
Dalam sejarah, lokasi ini pada jaman dulu adalah bagian dari wilayah kekuasaan
Pajajaran. Wilayah tersebut, pada jaman kerajaan digunakan sebagai hutan
perburuan oleh keluarga kerajaan.
Selain itu, peninggalan kerajaan
Pajajaran lain yang masih bisa ditemui adalah adanya Tugu Portugis. Tugu ini
terletak di Kampung Tugu Jakarta. Adanya peninggalan ini, merupakan salah satu
penunjuk wilayah kekuasaan kerajaan Pajajaran tersebut. Sedangkan untuk
prasasti, ada tiga prasasti yang diyakini merupakan peninggalan kerajaan
Pajajaran. Ketiganya yaitu Prasasti Batu Tulis, Prasasti Batu Tapak dan Prasasti
Kawali
Selama pemerintahan Kerajaan Pajajaran
pernah dipimpin oleh enam raja. Mereka adalah Sri Baduga Maharaja (1482-1521),
Surawisesa (1521-1535), ratu Dewata (1535-1543), Ratu Sakti (1543-1551)
dan Ratu Nilakendra (1551-1567). Mereka semua memerintah Kerajaan Pajajaran di
daerah Pakuan, dan Ratu Nilakendra adalah raja terakhir yang meninggalkan
wilayah Pakuan. Sebab, pada saat itu Kerajaan Pajajaran diserang oleh Sultan
Hasanuddin.
Setelah jatuhnya pemerintahan di
Pakuan, kerajaan Pajajaran mengalihkan pusat kekuasaannya di wilayah
Pandeglang. Di Pandeglang, Pajajaran dipimpin oleh seorang raja bernama Raga
Mulya. Dan Raga Mulya ini merupakan raja terakhir di kerajaan Pajajaran yang
memerintah pada tahun 1567-1579) dan dikenal juga sebagai Prabu Surya Kencana.
Kehancuran
Pakuan Pajajaran hancur, rata dengan
tanah, pada tahun 1579 akibat serangan pecahan kerajaan Sunda, yaitu Kesultanan
Banten. Berakhirnya zaman Kerajaan Sunda ditandai dengan diboyongnya Palangka
Sriman Sriwacana (singgahsana raja), dari Pakuan Pajajaran ke
Keraton Surosowan di Banten oleh pasukan Maulana Yusuf.
Batu berukuran 200x160x20 cm itu
diboyong ke Banten karena tradisi politik agar di Pakuan Pajajaran tidak
dimungkinkan lagi penobatan raja baru, dan menandakan Maulana Yusuf adalah
penerus kekuasaan Sunda yang sah karena buyut perempuannya adalah puteri Sri
Baduga Maharaja, raja Kerajaan Sunda. Palangka Sriman Sriwacana tersebut saat
ini bisa ditemukan di depan bekas Keraton Surosowan di Banten. Masyarakat
Banten menyebutnya Watu Gilang, berarti mengkilap atau berseri, sama
artinya dengan kata Sriman.
Saat itu diperkirakan terdapat sejumlah
punggawa istana yang meninggalkan istana lalu menetap di daerah Lebak. Mereka
menerapkan tata cara kehidupan mandala yang ketat, dan sekarang mereka dikenal
sebagai orang Baduy.
Kondisi Kehidupan Ekonomi
Pada umumnya masyarakat Kerajaan Pajajaran hidup dari pertanian, terutama perladangan. Di samping itu, Pajajaran juga mengembangkan pelayaran dan perdagangan. Kerajaan Pajajaran memiliki enam pelabuhan penting, yaitu Pelabuhan Banten, Pontang, Cigede, Tamgara, Sunda Kelapa (Jakarta), dan Cimanuk (Pamanukan)
Kondisi Kehidupan Sosial
Kehidupan masyarakat Pajajaran dapat di golongan menjadi golongan seniman (pemain gamelan, penari, dan badut), golongan petani, golongan perdagangan, golongan yang di anggap jahat (tukang copet, tukang rampas, begal, maling, prampok, dll)
Kehidupan Budaya
Kehidupan budaya masyarakat Pajajaran sangat di pengaruhi oleh agama Hindu. Peninggalan-peninggalannya berupa kitab Cerita Parahyangan dan kitab Sangyang Siksakanda, prasasti-prasasti, dan jenis-jenis batik.
Pada umumnya masyarakat Kerajaan Pajajaran hidup dari pertanian, terutama perladangan. Di samping itu, Pajajaran juga mengembangkan pelayaran dan perdagangan. Kerajaan Pajajaran memiliki enam pelabuhan penting, yaitu Pelabuhan Banten, Pontang, Cigede, Tamgara, Sunda Kelapa (Jakarta), dan Cimanuk (Pamanukan)
Kondisi Kehidupan Sosial
Kehidupan masyarakat Pajajaran dapat di golongan menjadi golongan seniman (pemain gamelan, penari, dan badut), golongan petani, golongan perdagangan, golongan yang di anggap jahat (tukang copet, tukang rampas, begal, maling, prampok, dll)
Kehidupan Budaya
Kehidupan budaya masyarakat Pajajaran sangat di pengaruhi oleh agama Hindu. Peninggalan-peninggalannya berupa kitab Cerita Parahyangan dan kitab Sangyang Siksakanda, prasasti-prasasti, dan jenis-jenis batik.
Raja - Raja Yang Pernah Berkuasa
1. Sri Baduga Maharaja
Jaman Pajajaran diawali oleh pemerintahan Sri Baduga Maharaja (RatuJayadewata) yang memerintah selama 39 thaun (1482 - 1521). Pada masa inilah Pakuan mencapai puncak perkembangannya.
2. Surawisesa (1521 - 1535)
Pengganti Sri Baduga Maharaja adalah Surawisesa (puteranya dari Mayang Sunda dan juga cucu Prabu Susuktunggal). Ia dipuji oleh Carita Parahiyangan dengan sebutan "kasuran" (perwira), "kadiran" (perkasa) dan "kuwanen" (pemberani). Selama 14 tahun memerintah ia melakukan 15 kali pertempuran.
Pengganti Sri Baduga Maharaja adalah Surawisesa (puteranya dari Mayang Sunda dan juga cucu Prabu Susuktunggal). Ia dipuji oleh Carita Parahiyangan dengan sebutan "kasuran" (perwira), "kadiran" (perkasa) dan "kuwanen" (pemberani). Selama 14 tahun memerintah ia melakukan 15 kali pertempuran.
3. Ratu Dewata (1535 - 1543)
Surawisesa digantikan oleh puteranya (RATU DEWATA). Berbeda dengan Surawisesa yang dikenal sebagai panglima perang yang perwira, perkasa dan pemberani, Ratu Dewata sangat alim dan taat kepada agama. Ia melakukan upacara SUNATAN (adat khitan pra-Islam) dan melakukan tapa PWAH-SUSU (hanya makan buah-buahan dan minum susu). Menurut istilah kiwari VEGETARIAN.
Surawisesa digantikan oleh puteranya (RATU DEWATA). Berbeda dengan Surawisesa yang dikenal sebagai panglima perang yang perwira, perkasa dan pemberani, Ratu Dewata sangat alim dan taat kepada agama. Ia melakukan upacara SUNATAN (adat khitan pra-Islam) dan melakukan tapa PWAH-SUSU (hanya makan buah-buahan dan minum susu). Menurut istilah kiwari VEGETARIAN.
4. Ratu Sakti (1543 - 1551)
Raja Pajajaran keempat adalah Ratu Sakti. Untuk mengatasi keadaan yang ditinggalkan Ratu Dewata yang bertindak serba alim, ia bersikap keras bahkan akhirnya kejam dan lalim. Dengan pendek Carita Parahiyangan melukiskan raja ini. Banyak rakyat dihukum mati tanpa diteliti lebih dahulu salah tidaknya. Harta benda rakyat dirampas untuk kepentingan keraton tanpa rasa malu sama sekali. Kemudian raja ini melakukan pelanggaran yang sama dengan Dewa Niskala yaitu mengawini "estri larangan ti kaluaran" (wanita pengungsi yang sudah bertunangan). Masih ditambah lagi dengan berbuat skandal terhadap ibu tirinya yaitu bekas para selir ayahnya. Karena itu ia diturunkan dari tahta kerajaan. Ia hanya beruntung karena waktu itu sebagian besar pasukan Hasanuddin dan Fadillah sedang membantu Sultan Trenggana menyerbu Pasurua dan Panarukan. Setelah meninggal, Ratu Sakti dipusarakan di Pengpelengan.
Raja Pajajaran keempat adalah Ratu Sakti. Untuk mengatasi keadaan yang ditinggalkan Ratu Dewata yang bertindak serba alim, ia bersikap keras bahkan akhirnya kejam dan lalim. Dengan pendek Carita Parahiyangan melukiskan raja ini. Banyak rakyat dihukum mati tanpa diteliti lebih dahulu salah tidaknya. Harta benda rakyat dirampas untuk kepentingan keraton tanpa rasa malu sama sekali. Kemudian raja ini melakukan pelanggaran yang sama dengan Dewa Niskala yaitu mengawini "estri larangan ti kaluaran" (wanita pengungsi yang sudah bertunangan). Masih ditambah lagi dengan berbuat skandal terhadap ibu tirinya yaitu bekas para selir ayahnya. Karena itu ia diturunkan dari tahta kerajaan. Ia hanya beruntung karena waktu itu sebagian besar pasukan Hasanuddin dan Fadillah sedang membantu Sultan Trenggana menyerbu Pasurua dan Panarukan. Setelah meninggal, Ratu Sakti dipusarakan di Pengpelengan.
5. Ratu Nilakendra (1551 - 1567)
Nilakendra atau Tohaan di Majaya naik tahta sebagai penguasa Pajajaran yang kelima. Pada saat itu situasi kenegaraan telah tidak menentu dan frustasi telah melanda segala lapisan masyarakat. Carita Parahiyangan memberitakan sikap petani "Wong huma darpa mamangan, tan igar yan tan pepelakan" (Petani menjadi serakah akan makanan, tidak merasa senang bila tidak bertanam sesuatu) Ini merupakan berita tidak langsung, bahwa kelaparan telah berjangkit.
Nilakendra atau Tohaan di Majaya naik tahta sebagai penguasa Pajajaran yang kelima. Pada saat itu situasi kenegaraan telah tidak menentu dan frustasi telah melanda segala lapisan masyarakat. Carita Parahiyangan memberitakan sikap petani "Wong huma darpa mamangan, tan igar yan tan pepelakan" (Petani menjadi serakah akan makanan, tidak merasa senang bila tidak bertanam sesuatu) Ini merupakan berita tidak langsung, bahwa kelaparan telah berjangkit.
6. Raga Mulya (1567 - 1579)
Raja Pajajaran yang terakhir adalah Nusya Mulya (menurut Carita Parahiyangan). Dalam naskah-naskah Wangsakerta ia disebut RAGA MULYA alias PRABU SURYAKANCANA. Raja ini tidak berkedudukan di Pakuan, tetapi di Pulasari, Pandeglang. Oleh karena itu, ia disebut Pucuk Umun (=Panembahan) Pulasari. [Mungkin raja ini berkedudukan di Kadu-hejo, Kecamatan Menes pada lereng Gunung Palasari].
Raja Pajajaran yang terakhir adalah Nusya Mulya (menurut Carita Parahiyangan). Dalam naskah-naskah Wangsakerta ia disebut RAGA MULYA alias PRABU SURYAKANCANA. Raja ini tidak berkedudukan di Pakuan, tetapi di Pulasari, Pandeglang. Oleh karena itu, ia disebut Pucuk Umun (=Panembahan) Pulasari. [Mungkin raja ini berkedudukan di Kadu-hejo, Kecamatan Menes pada lereng Gunung Palasari].
Sumber : http://pasundan.homestead.com/files/Sejarah/sejarahframe.htm
ayo berkomentar dengan kata-kata yang sopan