Showing posts with label SEJARAH KERAJAAN. Show all posts
Showing posts with label SEJARAH KERAJAAN. Show all posts
SEJARAH KERAJAAN DHARMSRAYA

SEJARAH KERAJAAN DHARMSRAYA

Awal mula
Munculnya Wangsa Mauli

Kemunduran kerajaan Sriwijaya akibat serangan Rajendra Chola I, telah mengakhiri kekuasaan Wangsa Sailendra atas Pulau Sumatra dan Semenanjung Malaya. Beberapa waktu kemudian muncul sebuah dinasti baru yang mengambil alih peran Wangsa Sailendra, yaitu yang disebut dengan nama Wangsa Mauli.
Prasasti tertua yang pernah ditemukan atas nama raja Mauli adalah Prasasti Grahi tahun 1183 di selatan Thailand. Prasasti itu berisi perintah Maharaja Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa kepada bupati Grahi yang bernama Mahasenapati Galanai supaya membuat arca Buddha seberat 1 bhara 2 tula dengan nilai emas 10 tamlin. Yang mengerjakan tugas membuat arca tersebut bernama Mraten Sri Nano.
Prasasti kedua berselang lebih dari satu abad kemudian, yaitu Prasasti Padang Roco tahun 1286. Prasasti ini menyebut raja Swarnabhumi bernama Maharaja Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa yang mendapat kiriman hadiah Arca Amoghapasa dari Raja Kertanagara, raja Singhasari di Pulau Jawa. Arca tersebut kemudian diletakkan di Dharmasraya.
Dharmasraya dalam Pararaton merupakan ibukota dari negeri bhūmi mālayu. Dengan demikian, Tribhuwanaraja dapat pula disebut sebagai raja Malayu. Tribhuwanaraja sendiri kemungkinan besar adalah keturunan dari Trailokyaraja. Oleh karena itu, Trailokyaraja pun bisa juga dianggap sebagai raja Malayu, meskipun prasasti Grahi tidak menyebutnya dengan jelas.
Yang menarik di sini adalah daerah kekuasaan Trailokyaraja pada tahun 1183 telah mencapai Grahi, yang terletak di selatan Thailand (Chaiya sekarang). Itu artinya, setelah Sriwijaya mengalami kekalahan, Malayu bangkit kembali sebagai penguasa Selat Malaka. Namun, kapan kiranya kebangkitan tersebut dimulai tidak dapat dipastikan. Dari catatan Cina  disebutkan bahwa pada tahun 1082 masih ada utusan dari Chen-pi (Jambi) sebagai bawahan San-fo-ts'i, dan disaat bersamaan muncul pula utusan dari Pa-lin-fong (Palembang) yang masih menjadi bawahan keluarga Rajendra.
Istilah Srimat yang ditemukan di depan nama Trailokyaraja dan Tribhuwanaraja berasal dari bahasa Tamil yang bermakna ”tuan pendeta”. Dengan demikian, kebangkitan kembali Kerajaan Malayu dipelopori oleh kaum pendeta. Namun, tidak diketahui dengan jelas apakah pemimpin kebangkitan tersebut adalah Srimat Trailokyaraja, ataukah raja sebelum dirinya. Karena sampai saat ini belum ditemukan prasasti Wangsa Mauli yang lebih tua daripada prasasti Grahi.
Daerah kekuasaan Dharmasraya

Dalam naskah berjudul Zhufan Zhi (諸蕃志) karya Zhao Rugua tahun 1225 disebutkan bahwa negeri San-fo-tsi memiliki 15 daerah bawahan, yaitu Che-lan (Kamboja), Kia-lo-hi (Grahi, Ch'ai-ya atau Chaiya selatan Thailand sekarang), Tan-ma-ling (Tambralingga, selatan Thailand), Ling-ya-si-kia (Langkasuka, selatan Thailand), Ki-lan-tan (Kelantan), Ji-lo-t'ing (Cherating, pantai timur semenanjung malaya), Tong-ya-nong (Terengganu), Fo-lo-an (muara sungai Dungun, daerah Terengganu sekarang), Tsien-mai (Semawe, pantai timur semenanjung malaya), Pa-t'a (Sungai Paka, pantai timur semenanjung malaya), Pong-fong (Pahang), Lan-mu-li (Lamuri, daerah Aceh sekarang), Kien-pi (Jambi), Pa-lin-fong (Palembang), Sin-to (Sunda), dan dengan demikian, wilayah kekuasaan San-fo-tsi membentang dari Kamboja, Semenanjung Malaya, Sumatera, sampai Jawa bagian barat.

San-fo-tsi

Istilah San-fo-tsi pada zaman Dinasti Song sekitar tahun 990–an, identik dengan Sriwijaya. Namun ketika Sriwijaya mengalami kehancuran pada tahun 1025, istilah San-fo-tsi masih tetap dipakai dalam naskah-naskah kronik Cina untuk menyebut pulau Sumatra secara umum. Apabila San-fo-tsi masih dianggap identik dengan Sriwijaya, maka hal ini akan bertentangan dengan prasasti Tanjore tahun 1030, bahwa saat itu Sriwijaya telah kehilangan kekuasaannya atas Sumatera dan Semenanjung Malaya. Walaupun kronik Cina mencatat bahwa pada periode 1079 dan 1088, San-fo-tsi masih mengirimkan utusan.
Dalam berita Cina yang berjudul Sung Hui Yao disebutkan bahwa Kerajaan San-fo-tsi tahun 1082 mengirim duta besar ke Cina yang saat itu di bawah pemerintahan Kaisar Yuan Fong. Duta besar tersebut menyampaikan surat dari raja Kien-pi (Jambi) bawahan San-fo-tsi, dan surat dari putri raja yang diserahi urusan negara San-fo-tsi, serta menyerahkan pula 227 tahil perhiasan, rumbia, dan 13 potong pakaian. Kemudian dilanjutkan pengiriman utusan selanjutnya tahun 1088.
Sebaliknya, dari daftar daerah bawahan San-fo-tsi tersebut tidak ada menyebutkan Ma-la-yu ataupun nama lain yang mirip dengan Dharmasraya.
Dengan demikian, istilah San-fo-tsi pada tahun 1225 tidak lagi identik dengan Sriwijaya, melainkan identik dengan Dharmasraya. Jadi, daftar 15 negeri bawahan San-fo-tsi tersebut merupakan daftar jajahan Kerajaan Dharmasraya, karena saat itu masa kejayaan Sriwijaya sudah berakhir.
Jadi, istilah San-fo-tsi yang semula bermakna Sriwijaya tetap digunakan dalam berita Cina untuk menyebut Pulau Sumatera secara umum, meskipun kerajaan yang berkuasa saat itu adalah Dharmasraya. Hal yang serupa terjadi pada abad ke-14, yaitu zaman Majapahit dan Dinasti Ming. Catatan sejarah Dinasti Ming masih menggunakan istilah San-fo-tsi, seolah-olah saat itu Sriwijaya masih ada. Sementara itu, catatan sejarah Majapahit berjudul Nagarakretagama tahun 1365 sama sekali tidak pernah menyebut adanya negeri bernama Sriwijaya melainkan Palembang.
Ekspedisi Pamalayu

Dalam Kidung Panji Wijayakrama dan Pararaton menyebutkan pada tahun 1275, Kertanagara mengirimkan utusan dari Jawa ke Sumatera yang dikenal dengan nama Ekspedisi Pamalayu yang dipimpin oleh Mahisa Anabrang atau Kebo Anabrang. Kemudian ditahun 1286 Kertanagara kembali mengirimkan utusan untuk mengantarkan Arca Amoghapasa yang kemudian dipahatkan pada Prasasti Padang Roco di Dharmasraya ibukota bhumi malayu, sebagai hadiah dari Kerajaan Singhasari. Tim ini kembali ke Pulau Jawa pada tahun 1293 sekaligus membawa dua orang putri dari Kerajaan Melayu yang bernama Dara Petak dan Dara Jingga. Kemudian Dara Petak dinikahi oleh Raden Wijaya yang telah menjadi raja Majapahit penganti Singhasari, dan pernikahan ini melahirkan Jayanagara, raja kedua Majapahit. Sedangkan Dara Jingga dinikahi oleh sira alaki dewa (orang yang bergelar dewa) dan kemudian melahirkan Tuan Janaka atau Mantrolot Warmadewa yang identik dengan Adityawarman, dan kelak menjadi Tuan Surawasa (Suruaso) berdasarkan Prasasti Batusangkar di pedalaman Minangkabau.
Penaklukan Majapahit

Kakawin Nagarakretagama yang ditulis tahun 1365 menyebut bhumi melayu sebagai salah satu di antara sekian banyak negeri jajahan Kerajaan Majapahit. Namun interpretasi isi yang menguraikan daerah-daerah "wilayah" kerajaan Majapahit yang harus mengantarkan upeti ini masih kontroversial, sehingga dipertentangkan sampai hari ini. Pada tahun 1339 Adityawarman dikirim sebagai uparaja atau raja bawahan Majapahit, sekaligus melakukan beberapa penaklukan yang dimulai dengan menguasai Palembang. Kidung Pamacangah dan Babad Arya Tabanan menyebut nama Arya Damar sebagai bupati Palembang yang berjasa membantu Gajah Mada menaklukkan Bali pada tahun 1343. Menurut Prof. C.C. Berg, tokoh ini dianggapnya identik dengan Adityawarman
Dari Dharmasraya ke Malayapura

Setelah membantu Majapahit dalam melakukan beberapa penaklukan, pada tahun 1347 masehi atau 1267 saka, Adityawarman memproklamirkan dirinya sebagai Maharajadiraja dengan gelar Srimat Sri Udayadityawarman Pratapaparakrama Rajendra Mauli Warmadewa dan menamakan kerajaannya dengan nama Malayapura. Kerajaan ini merupakan kelanjutan dari Kerajaan Melayu sebelumnya, dan memindahkan ibukotanya dari Dharmasraya ke daerah pedalaman (Pagaruyung atau Suruaso). Dengan melihat gelar yang disandang Adityawarman, terlihat dia menggabungan beberapa nama yang pernah dikenal sebelumnya, Mauli merujuk garis keturunannya kepada bangsa Mauli penguasa Dharmasraya, dan gelar Sri Udayadityavarman pernah disandang salah seorang raja Sriwijaya serta menambahkah Rajendra nama penakluk penguasa Sriwijaya, raja Chola dari Koromandel. Hal ini tentu sengaja dilakukan untuk mempersatukan seluruh keluarga penguasa di Swarnnabhumi.
Walaupun ibukota kerajaan Melayu telah dipindahkah ke daerah pedalaman, Dharmasraya tetap dipimpin oleh seorang Maharaja Dharmasraya. Tetapi statusnya berubah menjadi raja bawahan, sebagaimana tersebut pada Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah di Kerinci yang diperkirakan ditulis pada zaman Adityawarman.
Daftar Raja Dharmasraya

Berikut ini daftar nama raja Dharmasraya:
Tahun (Masehi) Nama raja atau gelar Ibu kota /
pusat pemerintahan
Prasasti, catatan pengiriman utusan ke Tiongkok serta peristiwa
1183 Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa Dharmasraya Prasasti Grahi tahun 1183 di selatan Thailand, perintah kepada bupati Grahi yang bernama Mahasenapati Galanai supaya membuat arca Buddha seberat 1 bhara 2 tula dengan nilai emas 10 tamlin.
1286 Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa Dharmasraya Prasasti Padang Roco tahun 1286 di Siguntur (Kabupaten Dharmasraya sekarang di Sumatera Barat), pengiriman Arca Amoghapasa sebagai hadiah Raja Singhasari kepada Raja Dharmasraya.
1316 Akarendrawarman Dharmasraya atau Pagaruyung atau Suruaso Prasasti Suruaso di Kabupaten Tanah Datar sekarang, dimana Adityawarman menyelesaikan pembangunan selokan yang dibuat oleh raja sebelumnya yaitu Akarendrawarman.
1347 Srimat Sri Udayadityawarman Pratapaparakrama Rajendra Maulimali Warmadewa Pagaruyung atau Suruaso Memindahkan pemerintahan ke Pagaruyung atau Suruaso, Manuskrip pada Arca Amoghapasa bertarikh 1347 di Kabupaten Dharmasraya sekarang, Prasasti Suruaso dan Prasasti Kuburajo di Kabupaten Tanah Datar sekarang.


Download Artikelnya Di Sini

Password Di Sini

SEJARAH SINGKAT KERAJAAN KALINGGA

SEJARAH SINGKAT KERAJAAN KALINGGA

Kalingga atau Ho-ling (sebutan dari sumber Tiongkok) adalah sebuah kerajaan bercorak Hindu yang muncul di Jawa Tengah sekitar abad ke-6 masehi. Letak pusat kerajaan ini belumlah jelas, kemungkinan berada di suatu tempat antara Kabupaten Pekalongan dan Kabupaten Jepara sekarang. Sumber sejarah kerajaan ini masih belum jelas dan kabur, kebanyakan diperoleh dari sumber catatan China, tradisi kisah setempat, dan naskah Carita Parahyangan yang disusun berabad-abad kemudian pada abad ke-16 menyinggung secara singkat mengenai Ratu Shima dan kaitannya dengan Kerajaan Galuh. Kalingga telah ada pada abad ke-6 Masehi dan keberadaannya diketahui dari sumber-sumber Tiongkok. Kerajaan ini pernah diperintah oleh Ratu Shima, yang dikenal memiliki peraturan barang siapa yang mencuri, akan dipotong tangannya.

Kisah lokal

Terdapat kisah yang berkembang di Jawa Tengah utara mengenai seorang Maharani legendaris yang menjunjung tinggi prinsip keadilan dan kebenaran dengan keras tanpa pandang bulu. Kisah legenda ini bercerita mengenai Ratu Shima yang mendidik rakyatnya agar selalu berlaku jujur dan menindak keras kejahatan pencurian. Ia menerapkan hukuman yang keras yaitu pemotongan tangan bagi siapa saja yang mencuri. Pada suatu ketika seorang raja dari seberang lautan mendengar mengenai kemashuran rakyat kerajaan Kalingga yang terkenal jujur dan taat hukum. Untuk mengujinya ia meletakkan sekantung uang emas di persimpangan jalan dekat pasar. Tak ada sorang pun rakyat Kalingga yang berani menyentuh apalagi mengambil barang yang bukan miliknya. Hingga tiga tahun kemudian kantung itu disentuh oleh putra mahkota dengan kakinya. Ratu Shima demi menjunjung hukum menjatuhkan hukuman mati kepada putranya, dewan menteri memohon agar Ratu mengampuni kesalahan putranya. Karena kaki sang pangeranlah yang menyentuh barang yang bukan miliknya, maka sang pangeran dijatuhi hukuman dipotong kakinya.

Carita Parahyangan

Berdasarkan naskah Carita Parahyangan yang berasal dari abad ke-16, putri Maharani Shima, Parwati, menikah dengan putera mahkota Kerajaan Galuh yang bernama Mandiminyak, yang kemudian menjadi raja kedua dari Kerajaan Galuh. Maharani Shima memiliki cucu yang bernama Sanaha yang menikah dengan raja ketiga dari Kerajaan Galuh, yaitu Brantasenawa. Sanaha dan Bratasenawa memiliki anak yang bernama Sanjaya yang kelak menjadi raja Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh (723-732 M).
Setelah Maharani Shima meninggal di tahun 732 M, Sanjaya menggantikan buyutnya dan menjadi raja Kerajaan Kalingga Utara yang kemudian disebut Bumi Mataram, dan kemudian mendirikan Dinasti/Wangsa Sanjaya di Kerajaan Mataram Kuno.
Kekuasaan di Jawa Barat diserahkannya kepada putranya dari Tejakencana, yaitu Tamperan Barmawijaya alias Rakeyan Panaraban. Kemudian Raja Sanjaya menikahi Sudiwara puteri Dewasinga, Raja Kalingga Selatan atau Bumi Sambara, dan memiliki putra yaitu Rakai Panangkaran.
Pada abad ke-5 muncul Kerajaan Ho-ling (atau Kalingga) yang diperkirakan terletak di utara Jawa Tengah. Keterangan tentang Kerajaan Ho-ling didapat dari prasasti dan catatan dari negeri Cina. Pada tahun 752, Kerajaan Ho-ling menjadi wilayah taklukan Sriwijaya dikarenakan kerajaan ini menjadi bagian jaringan perdagangan Hindu, bersama Malayu dan Tarumanagara yang sebelumnya telah ditaklukan Sriwijaya. Ketiga kerajaan tersebut menjadi pesaing kuat jaringan perdagangan Sriwijaya-Buddha.

Catatan dari zaman Dinasti Tang

Cerita Cina pada zaman Dinasti Tang (618 M - 906 M) memberikan tentang keterangan Ho-ling sebagai berikut.
  • Ho-ling atau disebut Jawa terletak di Lautan Selatan. Di sebelah utaranya terletak Ta Hen La (Kamboja), di sebelah timurnya terletak Po-Li (Pulau Bali) dan di sebelah barat terletak Pulau Sumatera.
  • Ibukota Ho-ling dikelilingi oleh tembok yang terbuat dari tonggak kayu.
  • Raja tinggal di suatu bangunan besar bertingkat, beratap daun palem, dan singgasananya terbuat dari gading.
  • Penduduk Kerajaan Ho-ling sudah pandai membuat minuman keras dari bunga kelapa
  • Daerah Ho-ling menghasilkan kulit penyu, emas, perak, cula badak dan gading gajah.
Catatan dari berita Cina ini juga menyebutkan bahwa sejak tahun 674, rakyat Ho-ling diperintah oleh Ratu Hsi-mo (Shima). Ia adalah seorang ratu yang sangat adil dan bijaksana. Pada masa pemerintahannya Kerajaan Ho-ling sangat aman dan tentram.

Catatan I-Tsing

Catatan I-Tsing (tahun 664/665 M) menyebutkan bahwa pada abad ke-7 tanah Jawa telah menjadi salah satu pusat pengetahuan agama Buddha Hinayana. Di Ho-ling ada pendeta Cina bernama Hwining, yang menerjemahkan salah satu kitab agama Buddha ke dalam Bahasa Cina. Ia bekerjasama dengan pendeta Jawa bernama Janabadra. Kitab terjemahan itu antara lain memuat cerita tentang Nirwana, tetapi cerita ini berbeda dengan cerita Nirwana dalam agama Buddha Hinayana.

Prasasti

Prasasti peninggalan Kerajaan Ho-ling adalah Prasasti Tukmas. Prasasti ini ditemukan di ditemukan di lereng barat Gunung Merapi, tepatnya di Dusun Dakawu, Desa Lebak, Kecamatan Grabag, Magelang di Jawa Tengah. Prasasti bertuliskan huruf Pallawa yang berbahasa Sanskerta. Prasasti menyebutkan tentang mata air yang bersih dan jernih. Sungai yang mengalir dari sumber air tersebut disamakan dengan Sungai Gangga di India. Pada prasasti itu ada gambar-gambar seperti trisula, kendi, kapak, kelasangka, cakra dan bunga teratai yang merupakan lambang keeratan hubungan manusia dengan dewa-dewa Hindu.
Sementara di Desa Sojomerto, Kecamatan Reban, Kabupaten Batang, Jawa Tengah, ditemukan Prasasti Sojomerto. Prasasti ini beraksara Kawi dan berbahasa Melayu Kuna dan berasal dari sekitar abad ke-7 masehi. Prasasti ini bersifat keagamaan Siwais. Isi prasasti memuat keluarga dari tokoh utamanya, Dapunta Selendra, yaitu ayahnya bernama Santanu, ibunya bernama Bhadrawati, sedangkan istrinya bernama Sampula. Prof. Drs. Boechari berpendapat bahwa tokoh yang bernama Dapunta Selendra adalah cikal-bakal raja-raja keturunan Wangsa Sailendra yang berkuasa di Kerajaan Mataram Hindu.
Kedua temuan prasasti ini menunjukkan bahwa kawasan pantai utara Jawa Tengah dahulu berkembang kerajaan yang bercorak Hindu Siwais. Catatan ini menunjukkan kemungkinan adanya hubungan dengan Wangsa Sailendra atau kerajaan Medang yang berkembang kemudian di Jawa Tengah Selatan.

Download Artikelnya Di Sini

Password Di Sini
SEJARAH KERAJAAN/KESULTANAN BERAU

SEJARAH KERAJAAN/KESULTANAN BERAU

Kesultanan Berau adalah sebuah kerajaan yang pernah berdiri di wilayah Kabupaten Berau sekarang ini. Kerajaan ini berdiri pada abad ke-14 dengan raja pertama yang memerintah bernama Baddit Dipattung dengan gelar Aji Raden Suryanata Kesuma dan istrinya bernama Baddit Kurindan dengan gelar Aji Permaisuri. Pusat pemerintahannya berada di Sungai Lati, Kecamatan Gunung Tabur. Sejarahnya kemudian pada keturunan ke-13, Kesultanan Berau terpisah menjadi dua yaitu Kesultanan Gunung Tabur dan Kesultanan Sambaliung. Sebelumnya daerah-daerah milik Berau yang telah memisahkan diri dan berdiri sendiri adalah Bulungan dan Tidung (kemudian ditaklukan Sultan Sulu). Negara Berau kuno meliputi kawasan pesisir dari perbatasan mandala Kerajaan Brunei di Kinabatangan (kini termasuk Sabah) hingga Tanjung Mangkaliat di perbatasan dengan mandala Kerajaan Kutai. Salah satu dari lima daerah bagian Berau adalah Nagri Marancang. Kepala Nagri atau Orang tuanya bernama Rangga Si Kannik Saludai. Pengarappan atau Punggawanya Bernama Harimau Jantan, Lambu Tunggal dan Kuda Sambarani. Wilayah kekuasaannya dari Bulalung Karantigau, Kubuan Pindda, Mangkapadi, Bulungan Selimbatu, Sekatak Buji, Sekata Jelanjang, Betayu, Sesayap, Simangarris, Tawau, Segarung, Talluk Silam dan Kinabatangan berbatasan dengan Brunei. Menurut perjanjian VOC-Belanda dengan Kesultanan Banjar, "negara Berau" (yang terdiri atas Gunung Tabur, Tanjung/Sambaliung, Bulungan dan Tidung) merupakan salah satu bekas negara dependensi/negara bagian di dalam "negara Banjar Raya". Menurut Staatsblad van Nederlandisch Indië tahun 1849, wilayah ini termasuk dalam zuid-ooster-afdeeling yang beribukota di Banjarmasin berdasarkan Bêsluit van den Minister van Staat, Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-Indie, pada 27 Agustus 1849, No. 8
  
 Raja pertama

Aji Raden Suryanata Kesuma, dikenal sebagai seorang raja yang bijak dalam menjalankan pemerintahannya selama 32 tahun sekitar tahun 1400 hingga 1432 ada pula yang menyatakan dari 1377 sampai 1426 Dibawah pemerintahannya, Baddit Dipattung berhasil membawa rakyatnya sejahtera serta menyatukan beberapa wilayah pemukiman yang dikenal oleh masyarakat Berau dengan sebutan "Banua", di antaranya Banua Merancang, Banua Pantai, Banua Kuran, Banua Rantau Buyut dan Banua Rantau Sewakung. Dalam catatan sejarah, Aji Suryanata Kesuma dikenal sangat berpengaruh dan berwibawa, sehingga dia adalah figur raja yang disegani kawan dan ditakuti lawan. Nama Raja Berau yang pertama ini, kemudian diabadikan menjadi nama Korem 091/Aji Surya Natakesuma (ASN). Kesultanan Brunei menyebut Berau dengan nama Kuran

Hubungan Kesultanan Berau dan Kesultanan Banjar

Menurut Kakawin Nagarakretagama yang ditulis oleh Empu Prapañca tahun 1365 tidak menyebutkan nama Berau sebagai salah satu negeri yang telah ditaklukan Kerajaan Majapahit oleh Gajah Mada, kemungkinan Berau masih memakai nama kuno yang lainnya yaitu Sawaku/Sawakung (sebuah negeri lama di Kabupaten Berau). Hikayat Banjar yang bab terakhirnya ditulis pada tahun 1663, menyebutkan hubungan Berau dengan Banjar pada masa Maharaja Suryanata, penguasa Banjar kuno abad ke-14 (waktu itu disebut Negara Dipa). Menurut Hikayat Banjar, sejak masa kekuasaan Maharaja Suryanata, pangeran dari Majapahit yang menjadi raja Negara Dipa (sebutan Banjar kuno pada masa Hindu), orang besar (penguasa) Berau sudah menjadi taklukannya, di sini hanya disebutkan orang besar, jadi bukan disebut raja seperti sebutan Raja Sambas dan Raja Sukadana. Berau dalam Hikayat Banjar disebutkan sebagai salah satu tanah yang di atas angin (= kerajaan di sebelah timur atau utara) yang telah membayar upeti. Hubungan Berau dengan Kesultanan Banjar di masa Sultan Suryanullah/Sultan Suriansyah/Pangeran Samudera (1520-1546) disebutkan dalam Hikayat Banjar, waktu itu Berau salah satu negeri yang turut mengirim pasukan membantu Pangeran Samudera/Sultan Suriansyah dan juga salah satu negeri yang mengirim upeti.  Menurut Hikayat Banjar, pada pertengahan abad ke-17 Sultan Makassar (Gowa-Tallo) meminjam Pasir termasuk daerah ring terluar seperti Kutai, Berau dan Karasikan sebagai tempat berdagang kepada Sultan Banjar IV Mustain Billah/Marhum Panembahan pada waktu Kiai Martasura diutus ke Makassar dan mengadakan perjanjian dengan I Mangadacinna Daeng Sitaba Karaeng Pattingalloang Sultan Mahmud yaitu Sultan Tallo yang menjabat mangkubumi bagi Sultan Malikussaid Raja Gowa tahun 1638-1654. Maka sejak itu Berau tidak lagi mengirim upeti kepada Kesultanan Banjar. 
Lokasi Kalimantan Timur Kabupaten Berau.svg
Pada masa pemerintahan Gubernur
  • Sultan Adam
Pada masa Sultan Adam dari Banjar dibuat perjanjian dengan Belanda yang di antara pasalnya menyerahkan vazal-vazal Banjar termasuk negeri Berau dan daerah-daerah lain di Kalimantan kepada Hindia Belanda. Perjanjian itu terdiri atas 28 pasal dan ditandatangani dalam loji Belanda di Banjarmasin pada tanggal 4 Mei 1826 atau 26 Ramadhan 1241 H. Perjanjian inilah yang menjadi dasar hubungan politik dan ekonomi antara Kesultanan Banjar dengan pemerintah Hindia Belanda di Batavia. Dalam perjanjian tersebut Kerajaan Banjar mengakui suzerinitas atau pertuanan Pemerintah Hindia Belanda dan menjadi sebuah Leenstaat, atau negeri pinjaman.

Download Artikelnya Di Sini

Password Di Sini
SEJARAH KERAJAAN MATARAM KUNO (MEDANG)

SEJARAH KERAJAAN MATARAM KUNO (MEDANG)


    Mungkin pada waktu kita SD atau SMP kita pernah mempelajari tentang 2 kerajaan mataram yaitu mataram kuno (medang) dan mataram islam , namun pada kali ini saya akan membahas tentang mataram kuno , kalo kalian ingin mengetahui sejarah mataram islam silahkan klik di sini

Sejarah Kerajaan Mataram Kuno – Cerita dan sejarah lengkap kerajaan mataran di pulau jawa.
kerajaan mataram kuno
Runtuhnya kerajaan mataram
SEJARAH SULTAN BAABULLAH

SEJARAH SULTAN BAABULLAH

Sultan Baabullah (10 Februari 1528 - permulaan 1583) adalah sultan dan penguasa Kesultanan Ternate ke-24 yang berkuasa antara tahun 1570 - 1583, ia merupakan sultan Ternate dan Maluku terbesar sepanjang sejarah yang berhasil mengalahkan Portugis dan mengantarkan Ternate ke puncak keemasan di akhir abad ke-16. Sultan Baabullah juga dijuluki sebagai penguasa 72 pulau berpenghuni yang meliputi pulau–pulau di nusantara bagian timur, Mindanao selatan dan kepulauan Marshall.

Masa muda

Dilahirkan
SEJARAH KESULTANAN/KERAJAAN MATARAM ISLAM

SEJARAH KESULTANAN/KERAJAAN MATARAM ISLAM


     Kesultanan Mataram adalah kerajaan Islam di Pulau Jawa yang pernah berdiri pada abad ke-17. Kerajaan ini dipimpin suatu dinasti keturunan Ki Ageng Sela dan Ki Ageng Pemanahan, yang mengklaim sebagai suatu cabang ningrat keturunan penguasa Majapahit. Asal-usulnya adalah suatu Kadipaten di bawah Kesultanan Pajang, berpusat di "Bumi Mentaok" yang diberikan kepada Ki Ageng Pemanahan sebagai hadiah atas jasanya. Raja berdaulat pertama adalah Sutawijaya (Panembahan Senapati), putra dari Ki Ageng Pemanahan.
     Kerajaan Mataram pada masa keemasannya pernah